Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD)
Menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 91 Tahun 2015, Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) merujuk pada risiko terkait penularan penyakit melalui proses transfusi darah. IMLTD merupakan penyebab penyakit yang diakibatkan oleh penularan virus melalui perantara transfusi darah, cenderung berlangsung dalam fase awal infeksi, biasanya bersifat asimptomatik, atau penderita mungkin akan mengalami demam atau gejala lain seperti flu biasa (flu like syndrome). [1, 2]
Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak terkait untuk mempertimbangkan dan mengimplementasikan langkah-langkah pengamanan yang tepat untuk meminimalkan risiko terkait IMLTD pada transfusi darah.
Parameter Deteksi IMLTD
Prosedur skrining IMLTD melibatkan implementasi uji saring terhadap 4 parameter virus penyebab utama IMLTD, yaitu pengidentifikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B Virus (HBV), Hepatitis C Virus (HCV), dan Sifilis. Informasi mengenai prosedur skrining IMLTD pada kantong darah tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 91 Tahun 2015.[1, 2]
Tujuan dari uji saring terhadap IMLTD adalah untuk mitigasi potensi risiko penularan infeksi dari donor darah kepada penerima transfusi.[1, 2]
1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini memiliki kemampuan untuk melemahkan sistem kekebalan tubuh. HIV terdiri dari dua tipe utama, yakni HIV-1 dan HIV-2. Kedua varian virus ini menimbulkan gejala yang serupa, yaitu immunodefisiensi.[1]
Meskipun demikian, kemampuan infeksi dari HIV-2 tidak setinggi dan seagresif HIV-1. Selain itu, terdapat perbedaan pada genomnya, yang mana HIV-1 memiliki cakupan penyebaran yang meluas secara global, sedangkan HIV-2 bersifat endemic, terutama di kawasan Afrika Barat.[1]
Infeksi oleh HIV menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh, yang mengakibatkan penderita mengalami kekurangan imunitas yang signifikan. Kondisi ini pada umumnya mengarah pada perkembangan AIDS jika tidak diberikan pengobatan dengan antiretroviral (ARV).[1]
Pada tahap AIDS, peningkatan jumlah virus yang masif di dalam tubuh menyebabkan terjadinya penurunan sel darah putih terutama sel CD4. Kecepatan transisi dari infeksi HIV ke tahap AIDS sangat bergantung pada jenis virus, tingkat virulensi, status gizi (daya tahan tubuh), dan metode penularan yang terkait dalam konteks individu yang terinfeksi.[1]
Baca Juga: Mengenal dan Memahami Tes Cepat Molekuler (TCM) Deteksi HIV
2. Hepatitis B surface (HBsAg)
Hepatitis B surface antigen (HBsAg) adalah sejenis protein yang ada pada permukaan virus dan yang memegang peran penting sebagai indikator awal dari infeksi HBV. HbsAg digunakan untuk identifikasi individu yang dicurigai terinfeksi sebelum gejala klinis mulai muncul.[1]
Pada beberapa orang (khususnya mereka yang terinfeksi adalah anak-anak atau mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pada penderita AIDS), infeksi kronis dengan Virus Hepatitis B (VHB) dapat terjadi dan HBsAg tetap positif.[1]
Pelajari Juga: Solusi Cepat & Jaminan Berkualitas Deteksi HBV
3. Hepatitis C (HCV)
Hepatitis C adalah infeksi virus yang menyerang organ hati. Kondisi ini memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit akut (jangka pendek) dan kronis (jangka panjang), bahkan dapat mengancam jiwa jika tidak segera ditangani.[1, 3]
Penularan Hepatitis C terjadi melalui kontak dengan darah yang telah terkontaminasi virus. Mekanisme penularannya dapat melalui penggunaan jarum suntik bergantian yang berisiko atau melalui prosedur medis yang tidak memenuhi standar keamanan, seperti transfusi darah menggunakan produk darah yang tidak mengalami proses penyaringan dengan cermat.[1, 3]
Gejala dari infeksi ini mencakup demam, mudah lelah, penurunan nafsu makan, mual, muntah, rasa tidak nyaman pada area perut, urine yang berwarna gelap, serta perubahan warna pada kulit atau mata yang menguning.[1, 3]
Pelajari Juga: Solusi Cepat & Jaminan Berkualitas Deteksi HCV
4. Sifilis
Sifilis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Penularannya terjadi melalui kontak seksual, dan penyakit ini bersifat kronis, serta menimbulkan berbagai komplikasi serius yang melibatkan sebagian besar jaringan tubuh, termasuk sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular.[1, 4]
Selain itu, infeksi ini juga dapat menyebar secara vertikal dari ibu ke janin selama masa kehamilan atau saat proses persalinan. Tak hanya itu, sifilis juga dapat ditularkan melalui penggunaan produk darah atau transplantasi jaringan yang terkontaminasi, serta melalui perantara alat kesehatan yang tidak steril.[1, 4]
Metode Deteksi IMLTD
Penting untuk diingat bahwa deteksi IMLTD haruslah dilakukan dengan mengacu kepada deteksi 4 jenis penyaki utama, yaitu HIV, HBV, HCV, dan Sifilis.[1]
Metode-metode seperti uji cepat (rapid test), Enzyme Linked Immunos Assay (ELISA), chemiluminescence immunoassay (CLIA), serta deteksi materi genetik virus menggunakan metode Nucleic Acid Amplification Test (NAT) adalah beberapa opsi yang tersedia untuk melaksanakan pendeteksian yang akurat.[1]
1. Uji Saring IMLTD Metode Rapid Test
Prinsip mendasar dari metode Rapid Test melibatkan interaksi antara antigen dengan antibodi di wilayah garis uji, diikuti dengan ikatan antibodi terhadap colloidal gold conjugate. Kompleks yang dihasilkan akan bergerak melalui membran nitroselulosa.[1]
Umumnya, sampel yang digunakan untuk analisis adalah serum, plasma, dan whole blood. Hasil reaktif akan termanifestasi dalam bentuk garis merah, menunjukkan keberadaan ikatan antara antigen dan antibodi di wilayah sample atau garis uji. Validitas dari hasil uji tercermin melalui munculnya garis merah pada wilayah kontrol (Control Line).[1]
Salah satu keunggulan dari metode ini adalah kegunaannya yang sangat user-friendly dan memerlukan volume sampel yang relatif kecil.[1]
2. Uji Saring IMLTD Metode ELISA
Dalam sejarahnya, ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh para ilmuwan Peter Perlmann dan Eva Engvall sebagai metode analisis yang memungkinkan penelitian interaksi antara antigen dan antibodi dalam suatu sampel, dengan menggunakan enzim sebagai reporter label.[1]
ELISA merupakan teknik yang menggabungkan tingkat spesifisitas antibodi atau antigen dengan kepekaan uji enzim secara efektif. Hal ini dicapai dengan mengonjugasikan antibodi atau antigen ke suatu enzim yang dapat dengan mudah diukur dan diidentifikasi.[1]
Metode ELISA mampu memberikan hasil pengukuran antigen atau antibodi secara kualitatif maupun kuantitatif dengan akurasi tinggi. Media reaksi yang digunakan dalam implementasi ELISA adalah lempeng mikro atau mikrowell, yang umumnya tersedia dalam format 96-well untuk setiap plate-nya.[1]
Secara umum, teknik ELISA diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yakni direct, indirect, sandwich, dan competitive.[1, 5]
3. Uji Saring IMLTD Metode CLIA
Metode CLIA adalah teknik imunoasai yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen atau antibodi terhadap suatu agen infeksi, dengan menggunakan molekul chemiluminescence sebagai indikator dari reaksi analitik.[1]
Saat ini, uji saring darah dengan menggunakan metode CLIA dianggap memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode ELISA. Salah satu keunggulan dari CLIA terletak pada proses deteksi menggunakan fotometer, dimana intensitas pendaran yang mengungguli nilai absorbansi karena sifat absolut dan relatif dari parameter tersebut.[1]
Prinsip dasar dari metode CLIA melibatkan penggunaan sebagai pembawa antigen atau antibodi dalam proses pengujian CLIA. Setelah penambahan sampel, terbentuklah ikatan antara antigen dan antibodi.[1]
Berkat kehadiran mikropartikel magnetik, ikatan antigen-antibodi yang terbentuk menjadi lebih stabil dan tidak mudah terlepas selama proses pencucian. Tahap selanjutnya melibatkan penambahan larutan chemiluminescence, dimana kompleks reaksi antara antigen dan antibodi akan berpendar karena partikel chemiluminescence tercetus oleh substrat kemudian pendaran tersebut emisinya akan dibaca oleh fotometer.[1]
Pelajari Lebih Lanjut : Produk Uji Saring IMLTD Metode CLIA
4. Uji Saring IMLTD Metode NAT
Metode NAT merujuk pada serangkaian prosedur pengujian yang bertujuan mendeteksi keberadaan asam nukleat dari agen infeksi seperti HBV, HCV, dan HIV.[1]
Dalam ranah deteksi asam nukleat, berbagai teknik telah diperkenalkan, termasuk di dalamnya adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) dan NAT. Saat ini, teknik NAT yang banyak digunakan adalah yang menggunakan metode Transcription Mediated Amplification (TMA).[1]
Baca Juga: Uji Saring NAT: Cegah Penyakit Menular Pada Darah Donor
Dalam konteks pengujian darah donor, metode NAT yang memiliki sensitivitas tinggi telah mengalami perkembangan dengan penggunaan platform yang bersifat semi-otomatis atau otomatis, memudahkan implementasinya pada sampel darah donor yang besar.[1]
Metode ini sering kali dilakukan dalam format multipleks yang memungkinkan deteksi RNA-HCV, RNA HIV, dan DNA-HBV secara simultan pada sampel mini-pool (MP-NAT) atau sampel individu (ID-NAT).[1]
Itulah pembahasan mengenai IMLTD. Ketahui juga informasi lainnya seputar uji saring darah dengan mengunjungi halaman berikut ini:
Referensi Artikel:
- Purnamaningsih, N., & Supadmi, F. R. S. (2019). Bahan Ajar Teknologi Bank Darah (TBD) : Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISBN: 978-602-416-868-1.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2015.
- World Health Organization. (2023). Hepatitis C. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-c. (diakses pada 25 Oktober 2023).
- Tangjitgamol, S. (2023). Syphilis. MedPark Hospital. https://www.medparkhospital.com/en-US/disease-and-treatment/syphilis. (diakses pada 25 Oktober 2023).
- CUSABIO team. Four Types of ELISA. https://www.cusabio.com/c-20659.html. (diakses pada pada 25 Oktober 2023).