Home 9 Blog 9 Kebangkitan Cacar Monyet Global: Tantangan Kesehatan Masyarakat

Kebangkitan Cacar Monyet Global: Tantangan Kesehatan Masyarakat

Oct 23, 2024 • 10 minutes read

Dalam beberapa tahun terakhir, cacar monyet telah menjadi perhatian global karena munculnya wabah di berbagai wilayah, termasuk di luar daerah endemik (sudah biasa terjadi di daerah tersebut dengan jumlah kasus yang relatif stabil), seperti Afrika Tengah dan Barat. Wabah-wabah ini menimbulkan kekhawatiran tentang penyebarannya, sehingga penting untuk memahami lebih jauh mengenai gejala, cara penularan, dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Dalam artikel ini, kita akan membahas aspek penting dari cacar monyet—mulai dari asal-usulnya, gejala yang perlu diwaspadai, cara penularan, hingga langkah-langkah pencegahan yang bisa dilakukan. Kita juga akan melihat bagaimana dunia merespons untuk mengendalikan dan menahan penyebaran penyakit ini. Pemahaman yang baik tentang cacar monyet sangat penting untuk mengambil tindakan pencegahan yang tepat dan melindungi kesehatan masyarakat secara global.

 

 

Cacar Monyet: Sejarah, Penyebaran Global, dan Ancaman di Era Modern

Nama ‘monkeypox’ berasal dari penemuan awal virus cacar monyet pada tahun 1958, ketika terjadi wabah di antara monyet di sebuah laboratorium di Kopenhagen, Denmark. Penyakit ini memiliki sejarah panjang, yang berasal dari hutan hujan di Afrika Tengah dan Barat, di mana virus ini terutama menginfeksi hewan pengerat liar. Kasus pertama pada manusia tercatat pada tahun 1970 pada seorang bayi laki-laki berusia 9 bulan di Afrika, yang ditemukan melalui program pengawasan cacar.[1, 2]

Setelah pemberantasan cacar secara global pada tahun 1980 dan penghentian program vaksinasi cacar, terjadi peningkatan jumlah wabah cacar monyet. Penurunan kekebalan kelompok (herd immunity) menjadi faktor penting dalam kebangkitan kembali virus ini.[1, 2]

Awalnya, kasus cacar monyet pada manusia terbatas di Afrika, khususnya di Republik Demokratik Kongo, Nigeria, dan Ghana, di mana penanganan daging hewan liar dan paparan hewan yang terinfeksi menjadi penyebab utama infeksi. Penularan antar manusia terbatas namun dapat terjadi melalui kontak langsung atau percikan pernapasan (droplet). Selama periode antara 1970 dan 2017, kasus cacar monyet bersifat sporadis, dengan wabah signifikan di Kongo pada tahun 1980-an dan kembali terjadi pada tahun 2000-an.[1, 2]

Virus ini mendapatkan perhatian internasional pada tahun 2003 ketika wabah pertama kali terjadi di luar Afrika, yaitu di Amerika Serikat. Wabah ini dilacak pada anjing padang rumput yang terinfeksi setelah kontak dengan hewan pengerat yang diimpor dari Ghana, yang menandai awal penyebaran virus secara global. Dalam beberapa tahun berikutnya, perjalanan dan globalisasi memfasilitasi penyebaran virus di luar Afrika, dengan kasus yang dilaporkan di Inggris, Israel, Singapura, dan beberapa negara Eropa.[1, 2]

Wabah cacar monyet terbesar dan paling luas terjadi pada tahun 2022, dengan lebih dari 16.000 kasus yang dikonfirmasi di berbagai benua, termasuk Eropa, Amerika Utara, dan Asia. Berbeda dengan wabah sebelumnya, penularan antar manusia, khususnya di antara pria yang berhubungan seks dengan pria, menjadi mode utama infeksi selama wabah ini.[1]

Wabah 2022 menimbulkan kekhawatiran tentang dinamika penularan virus yang berkembang dan kemampuannya menyebar di daerah perkotaan yang padat, yang menyebabkan peringatan kesehatan global yang meluas.[1]

Kebangkitan cacar monyet dalam beberapa tahun terakhir menyoroti konsekuensi penghentian vaksinasi cacar. Studi menunjukkan bahwa vaksin cacar, yang 85% efektif dalam mencegah cacar monyet, memberikan kekebalan penting terhadap virus ini. Tanpa vaksinasi yang meluas ini, populasi menjadi lebih rentan, memungkinkan cacar monyet menyebar lebih mudah di antara individu.[1]

Penularan cacar monyet dapat terjadi melalui berbagai cara, termasuk kontak langsung dengan cairan tubuh, lesi kulit, tetesan pernapasan, dan limbah yang mengandung virus dari hewan yang terinfeksi. Selain itu, virus juga dapat menyebar melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi.[1]

Meskipun penularan dari manusia ke manusia sebelumnya jarang terjadi, penurunan kekebalan kelompok terhadap orthopoxvirus telah meningkatkan kekhawatiran bahwa penularan cacar monyet antar manusia akan menjadi lebih umum di masa depan.[1]

Data dari Republik Demokratik Kongo menunjukkan pola penularan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1980 terhadap 338 kasus cacar monyet mengungkapkan bahwa 72,5% infeksi disebabkan oleh kontak dengan hewan, sementara 27,5% disebabkan oleh penularan antar manusia.[1]

Pada tahun 1990-an, dinamika ini berubah, dengan 78% kasus merupakan infeksi sekunder, yang menunjukkan peningkatan penularan dari manusia ke manusia. Tren serupa diamati di Nigeria, di mana 78,3% kasus memiliki hubungan epidemiologis dengan individu lain yang memiliki gejala mirip cacar monyet, sementara hanya 8,2% yang dilacak kembali ke kontak dengan hewan.[1]

 

Faktor Risiko Penularan Cacar Monyet dan Peran Lingkungan dalam Penyebarannya

Penularan cacar monyet antar manusia dapat terjadi melalui kontak fisik dekat, seperti berbagi kamar atau peralatan makan. Sementara itu, penularan dari hewan ke manusia sering terkait dengan aktivitas seperti tidur di luar atau berinteraksi dengan hewan liar. Contohnya, selama wabah cacar monyet di AS pada tahun 2003, kontak dengan hewan terinfeksi dan membersihkan kandangnya menjadi risiko signifikan, bahkan bagi yang sudah divaksinasi.[1]

Studi ekologi menunjukkan bahwa tupai, terutama Funisciurus anerythrus dan Heliosciurus rufobrachium, memainkan peran penting dalam menjaga keberadaan virus di area dekat populasi manusia. Sebuah studi menemukan bahwa 24,7% tupai Funisciurus anerythrus di alam liar memiliki antibodi spesifik cacar monyet, yang menunjukkan peran mereka sebagai reservoir virus (pusat penularan virus).[1]

Meskipun tupai dianggap sebagai sumber utama infeksi bagi manusia karena interaksi mereka yang sering dengan aktivitas manusia, peran mamalia lain, seperti primata, dalam mempertahankan virus di alam masih belum pasti.[1]

Alur penularan utama virus cacar monyet dari hewan ke manusia

Alur penularan utama virus cacar monyet dari hewan ke manusia.[2]

Studi lebih lanjut mengusulkan bahwa zona pertanian yang terganggu di dekat pemukiman manusia, yang kaya akan hewan pengerat dan tupai, dapat bertindak sebagai titik penyebaran untuk penularan dari hewan ke manusia, memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana faktor lingkungan dan interaksi manusia dengan satwa liar mendorong penyebaran virus.[1]

Peningkatan kasus cacar monyet baru-baru ini, terutama di Republik Afrika Tengah, diduga terkait erat dengan interaksi antara manusia dan satwa liar di wilayah tersebut. Interaksi ini meningkat akibat pergerakan satwa liar ke hutan hujan, serta ketidakstabilan politik, pengungsian, dan kemiskinan, yang semuanya berkontribusi pada peningkatan kontak antara manusia dan hewan.[1]

Seiring dengan meningkatnya mobilitas populasi dan gangguan lingkungan, risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia juga meningkat. Selain itu, sirkulasi virus cacar monyet di antara individu dengan sistem kekebalan yang lemah dapat mendorong evolusi patogen, berpotensi menghasilkan strain baru yang beradaptasi dengan manusia.[1]

 

Evolusi Virus Cacar Monyet: Dari Variasi Genetik Hingga Dampak Kesehatan Global

Virus cacar monyet dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: varian Afrika Barat dan Lembah Kongo. Sekuensing genom dari wabah terbaru, seperti di Portugal dan AS pada tahun 2022, mengonfirmasi bahwa virus yang beredar berasal dari Afrika Barat. Analisis filogenetik (kekerabatan genetik) telah mengaitkan varian ini dengan wabah sebelumnya di Nigeria, Inggris, Israel, dan Singapura pada tahun 2017 hingga 2019.[1]

Struktur virus cacar monyet

Struktur virus cacar monyet.[2]

Seiring waktu, virus cacar monyet telah mengalami mikro-evolusi dan mutasi, dengan perubahan penting yang terjadi antara tahun 2017 dan 2022. Studi menunjukkan adanya korelasi antara varian virus dan tingkat keparahan penyakit pada manusia, serta potensi virus untuk menyebabkan wabah. Meskipun kesamaan genom sangat tinggi—identitas tingkat protein sebesar 99,4%—variasi pada gen-gen yang terkait dengan virulensi, seperti gen D14R (yang mengkode protein pengikat komplemen), berkontribusi pada perbedaan virulensi dan patologi.[1]

 

Cacar Monyet: Dari Gejala Awal hingga Komplikasi yang Mengancam Nyawa

Cacar monyet masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung, atau kulit dan berkembang biak secara lokal sebelum menyebar ke kelenjar getah bening dan organ lainnya. Fase inkubasi ini berlangsung 7 hingga 14 hari, tetapi dapat diperpanjang hingga 21 hari.[2, 3, 4]

Gejala cacar monyet dimulai dengan demam, pembengkakan kelenjar getah bening, dan gejala mirip flu lainnya, diikuti oleh lesi (luka) pada mulut dan kulit, terutama di wajah, tangan, dan kaki. Gejala-gejala ini sering diikuti oleh ruam yang khas, yang berkembang melalui beberapa tahap: makula (lesi datar), papula (lesi terangkat yang keras dan menyakitkan), vesikel (berisi cairan bening), dan pustula (berisi nanah), yang akhirnya membentuk keropeng atau kerak.[2, 3, 4]

Ruam biasanya muncul satu hingga dua minggu setelah infeksi tetapi dapat muncul hingga 21 hari kemudian. Tingkat keparahan bervariasi, dengan individu yang divaksinasi sering mengalami gejala yang lebih ringan. Wabah terbaru menunjukkan peningkatan insiden pada pria dan penularan seksual, dengan lesi genital yang umum terjadi.[2, 3, 4]

Berbagai gejala cacar monyet

Berbagai gejala cacar monyet.[2]

Prognosis dan tingkat kematian tergantung pada jenis virus dan status vaksinasi. Jenis virus Afrika Barat memiliki tingkat kematian yang lebih rendah (<1%), sedangkan jenis virus Afrika Tengah bisa mematikan hingga 11% pada kasus yang tidak divaksinasi. Individu yang divaksinasi umumnya mengalami perjalanan penyakit yang lebih ringan tanpa kematian yang dilaporkan.[1, 2]

Komplikasi termasuk infeksi bakteri sekunder, jaringan parut permanen, dan kehilangan penglihatan akibat keterlibatan mata (4-5% kasus). Pneumonia dan sepsis memengaruhi masing-masing 12% dan 18% kasus. Kasus parah dapat menyebabkan ensefalitis, dehidrasi, dan kerusakan organ. Komplikasi spesifik pada wabah baru-baru ini termasuk peradangan rektal dan penis, dengan dehidrasi parah dan sepsis yang mungkin terjadi pada pasien dengan lesi kulit yang ekstensif.[1]

 

Perbedaan Gejala Klinis Cacar Monyet dengan Cacar & Cacar Air serta Cara Diagnosisnya

Perbandingan Fitur Klinis Cacar Monyet, Cacar, dan Cacar Air

Tabel 1: Perbandingan Fitur Klinis Cacar Monyet, Cacar, dan Cacar Air.[1]

Cacar monyet, cacar, dan cacar air menunjukkan gejala klinis yang serupa, termasuk demam, malaise, dan ruam kulit, yang dapat mempersulit diagnosis. Pada tabel 1 membandingkan fitur klinis utama dari ketiga penyakit ini, dengan menyoroti karakteristik yang tumpang tindih. Meskipun beberapa penyakit seperti sifilis, herpes simpleks, dan chancroid juga dapat menghasilkan lesi kulit yang serupa, penyakit-penyakit tersebut dapat dibedakan dari cacar monyet melalui mikroskop electron.[1, 2]

Erupsi kulit pada cacar monyet hampir identik dengan yang terlihat pada cacar biasa dan juga memiliki kemiripan dengan cacar air klasik maupun cacar air atipikal. Namun, beberapa fitur klinis seperti adanya limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening) membantu membedakan cacar monyet. Limfadenopati, khususnya di daerah submandibula, serviks, atau inguinal, adalah penanda diagnostik penting untuk cacar monyet yang tidak umum ditemukan pada cacar.[1]

Meskipun gejala klinis dapat membantu dalam membedakan cacar monyet, tes laboratorium diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis. Beberapa teknik digunakan untuk mendiagnosis cacar monyet, termasuk histologi, imunohistokimia, serologi, dan polymerase chain reaction (PCR).[1, 2, 3, 4]

Pemeriksaan histologis dari sampel biopsi kulit pasien cacar monyet menunjukkan nekrosis (kematian jaringan) di pusat lesi, yang dikelilingi oleh epidermis hiperplastik dan degenerasi sel keratinosit. Sel-sel inflamasi seperti limfosit, eosinofil, dan neutrofil juga dapat terlihat di epidermis dan dermis. Ciri-ciri histopatologis cacar monyet sangat mirip dengan infeksi virus lainnya, termasuk cacar, varicella zoster, herpes simpleks, dan vaksinia.[1]

Pewarnaan imunohistokimia dapat membantu membedakan cacar monyet dari infeksi virus lain, terutama herpesvirus. Antibodi poliklonal seperti anti-vaccinia murine memiliki potensi tinggi dalam mendeteksi orthopoxvirus tanpa reaksi silang dengan herpes simpleks. Antibodi monoklonal spesifik terhadap virus cacar monyet dapat mendeteksi antigen orthopox dan membedakan virus ini dari anggota keluarga poxvirus lainnya.[1]

Kehadiran antibodi spesifik IgG dan IgM orthopoxvirus dapat dideteksi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau tes imunokromatografi aliran lateral. Antibodi ini muncul 5 hingga 8 hari setelah infeksi atau vaksinasi. Namun, karena reaksi silang antar orthopoxvirus, antibodi IgG tidak dapat membedakan antara berbagai orthopoxvirus, sehingga IgM menjadi penanda yang lebih spesifik untuk infeksi cacar monyet baru-baru ini.[1]

PCR adalah metode paling sensitif untuk mendiagnosis cacar monyet. Uji Real-time PCR dapat mendeteksi DNA spesifik cacar monyet dengan akurasi tinggi, menjadikannya tes diagnostik yang paling disukai. Teknik ini memungkinkan identifikasi cepat terhadap virus cacar monyet dan membantu membedakannya dari orthopoxvirus lainnya.[1, 2]

 

Melindungi Diri dari Cacar Monyet: Upaya Pencegahan yang Efektif

Cara utama penularan cacar monyet adalah melalui kontak dekat dengan individu yang terinfeksi. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus fokus pada meminimalkan paparan. Tindakan perlindungan seperti memakai masker wajah dan menjaga kebersihan tangan yang baik sangat penting untuk mengurangi risiko penularan.[1, 2, 3, 4]

Di antara berbagai jenis masker, respirator N95 terbukti lebih efektif daripada masker bedah dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Para pekerja kesehatan, khususnya, harus menggunakan alat pelindung diri yang sangat protektif saat merawat pasien yang terinfeksi, karena tingginya kadar virus yang terdapat dalam nanah dan keropeng meningkatkan risiko penularan antar manusia.[1, 2, 3, 4]

Selain langkah-langkah perlindungan pribadi, penting untuk mengidentifikasi dan mengisolasi individu yang telah melakukan kontak seksual dengan orang yang terinfeksi atau yang telah melakukan perjalanan ke wilayah di mana kasus cacar monyet telah dilaporkan. Langkah-langkah pencegahan harus dilanjutkan selama 4 hingga 14 hari setelah terpapar virus untuk meminimalkan risiko penyebaran.[1]

Mengisolasi individu yang terinfeksi hingga lesi mereka benar-benar sembuh tetap menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencegah penularan lebih lanjut. Rumah sakit dan otoritas kesehatan harus siap menghadapi rawat inap jangka panjang dalam kasus yang parah, dengan merencanakan kebutuhan fisik dan logistik bagi pasien dan tenaga Kesehatan.[1]

Meskipun program vaksinasi cacar berhasil memberantas penyakit tersebut, cacar monyet menghadirkan tantangan yang lebih besar karena dapat ditularkan oleh hewan maupun manusia. Meskipun demikian, vaksin tetap merupakan alat penting dalam pencegahan cacar monyet.[1]

Dua vaksin, ACAM2000 dan JYNNEOS, telah disetujui untuk digunakan, terutama di antara mereka yang berisiko tinggi terpapar, seperti pekerja kesehatan dan personel laboratorium. Vaksin-vaksin ini telah digunakan dengan aman di Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura. Dalam beberapa kasus, mereka juga dapat diberikan sebagai profilaksis pasca-pajanan.[1]

Namun, ada beberapa kekhawatiran terkait ACAM2000, yang telah dikaitkan dengan komplikasi jantung. Akibatnya, organisasi seperti CDC, WHO, dan Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP) tidak merekomendasikan vaksinasi pra-paparan secara luas. Sebaliknya, vaksinasi dibatasi untuk kelompok tertentu, termasuk peneliti lapangan, dokter hewan, personel militer, dan pekerja Kesehatan.[1]

Bagi individu dengan sistem kekebalan yang terganggu, penggunaan terapi imunoglobulin intravena telah disarankan, meskipun efektivitasnya masih dalam evaluasi. Selain itu, vaksin Modified Vaccinia virus Ankara (MVA) generasi ketiga yang tidak menyebabkan lesi kulit dapat diberikan dalam dua dosis yang diberikan dengan jarak empat minggu. Vaksin ini telah menunjukkan harapan dalam uji klinis dengan merangsang produksi antibodi dan dianggap aman bagi pasien dengan kekebalan yang terganggu dan mereka yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin virus hidup.[1]

 

Cacar Monyet: Memahami Penanganan Simptomatik dan Potensi Terapi Antivirus di Era Tanpa Vaksin

Saat ini, belum ada terapi khusus untuk menangani penyebab utama cacar monyet. Oleh karena itu, penanganan penyakit ini lebih difokuskan pada perawatan simptomatis dan pencegahan infeksi sekunder guna meringankan gejala serta mencegah komplikasi lebih lanjut.[1, 2, 3]

Meskipun belum ada bukti pasti bahwa antivirus efektif mengobati cacar monyet pada manusia, data dari studi hewan menunjukkan kemungkinan efektivitasnya. Hal ini mendorong penggunaan beberapa antivirus yang awalnya dikembangkan untuk kondisi lain dalam penanganan cacar monyet pada manusia. Dua antivirus utama yang saat ini dipertimbangkan adalah brincidofovir dan tecovirimat.[1, 2, 5]

Siklus hidup replikasi virus Mpox dalam inang dan target potensial untuk obat anti-virus Mpox

Siklus hidup replikasi virus Mpox dalam inang dan target potensial untuk obat anti-virus Mpox.[5]

Siklus hidup lengkap infeksi virus Mpox: dari masuk ke sel inang hingga ekskresi. Secara singkat, partikel virus EEV (extracellular enveloped virions) dan IMV (intracellular mature virions) menembus membran inang melalui fusi membran dan endositosis. Partikel virus Mpox memanfaatkan glikosaminoglikan sebagai reseptor inang. Partikel IMV masuk ke sitoplasma dan diangkut ke pabrik replikasi perinuklear melalui mikrotubulus. Genom virus Mpox yang dilepaskan berfungsi sebagai template untuk replikasi DNA.[5]

Selanjutnya, IMV dibungkus oleh aparatus Golgi untuk membentuk IEV (Intracellular Enveloped Virions) dan diangkut ke permukaan sel melalui aktin atau mikrotubulus. Beberapa obat penting yang menargetkan setiap tahap proses replikasi ini tercantum.[5]

Kesadaran akan cacar monyet dan pemahaman yang mendalam tentang penularannya menjadi sangat krusial dalam menghadapi tantangan kesehatan global ini. Meskipun wabah ini awalnya terbatas di wilayah endemik, peningkatan mobilitas manusia dan interaksi dengan hewan telah menyebabkan penyebaran yang lebih luas, sehingga langkah-langkah pencegahan harus diutamakan.

Dengan menjaga kebersihan, menerapkan tindakan isolasi bagi individu terinfeksi, serta memanfaatkan vaksin yang tersedia, kita dapat melindungi diri dan komunitas dari risiko penularan. Menanggapi wabah ini dengan tepat dan berbasis bukti akan memungkinkan kita untuk menahan dan memitigasi dampak cacar monyet, sehingga menjaga kesehatan masyarakat dan menciptakan ketahanan yang lebih baik di masa depan.

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai isu kesehatan masyarakat dan ancaman virus lainnya, baca juga artikel kami lainnya yang membahas berbagai topik kesehatan terkini dan penting melalui berikut ini:

Baca Artikel Lainnya

 

 

 

Referensi Artikel

  1. Zahmatyar, M., Fazlollahi, A., Motamedi, A., Zolfi, M., Seyedi, F., Nejadghaderi, S. A., Sullman, M. J. M., Mohammadinasab, R., Kolahi, A. A., Arshi, S., & Safiri, S. (2023). Human monkeypox: history, presentations, transmission, epidemiology, diagnosis, treatment, and prevention. Frontiers in medicine, 10, 1157670. https://doi.org/10.3389/fmed.2023.1157670.
  2. Khattak, S., Rauf, M. A., Ali, Y., Yousaf, M. T., Liu, Z., Wu, D. D., & Ji, X. Y. (2023). The monkeypox diagnosis, treatments and prevention: A review. Frontiers in cellular and infection microbiology12, 1088471. https://doi.org/10.3389/fcimb.2022.1088471.
  3. World Health Organization. “Mpox (Monkeypox).” *WHO*, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mpox. Accessed 25 Sept. 2024.
  4. Institut Pasteur. Monkeypox. https://www.pasteur.fr/en/medical-center/disease-sheets/mpox-formerly-monkeypox. Accessed 25 Sept. 2024.
  5. Lu, J., Xing, H., Wang, C., Tang, M., Wu, C., Ye, F., Yin, L., Yang, Y., Tan, W., & Shen, L. (2023). Mpox (formerly monkeypox): pathogenesis, prevention, and treatment. Signal transduction and targeted therapy, 8(1), 458. https://doi.org/10.1038/s41392-023-01675-2.

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.