Mengenal Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik adalah kumpulan gangguan metabolisme yang saling berkaitan dan meningkatkan risiko penyakit serius. Kondisi ini meliputi penumpukan lemak berlebih di area perut (obesitas sentral), tubuh yang mulai tidak merespons insulin secara optimal (resistensi insulin), tekanan darah tinggi (hipertensi), serta ketidakseimbangan kadar lemak darah seperti kolesterol dan trigliserida (dislipidemia). Kombinasi faktor-faktor ini secara signifikan memperbesar kemungkinan seseorang mengalami penyakit jantung akibat penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis) dan diabetes melitus tipe 2.[1]
1. Aterosklerosis

Ilustrasi aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah kondisi peradangan kronis yang ditandai dengan penumpukan plak di dalam dinding arteri. Plak ini sebagian besar tersusun dari lemak (lipid) yang memicu respon peradangan. Proses ini mengganggu kelancaran aliran darah dan dapat berkembang menjadi penyakit kardiovaskular aterosklerotik (ASCVD), yang berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti serangan jantung dan stroke.[2]
2. Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan kadar gula darah yang terus-menerus tinggi. Kondisi ini terjadi ketika tubuh mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin, yang dikenal sebagai resistensi insulin. Pada tahap awal, tubuh berusaha mengimbangi dengan memproduksi lebih banyak insulin agar kadar gula tetap stabil. Namun, seiring waktu, kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin menurun, sehingga kadar gula darah tidak lagi terkendali dan terjadilah diabetes melitus tipe 2.[3]
3. Sindrom Metabolik: Ancaman Diam-Diam yang Memicu Ledakan Penyakit Kronis

Kriteria sindrom metabolik. Sumber: Cleveland Clinic.
Pasien dengan sindrom metabolik diperkirakan memiliki risiko penyakit kardiovaskular aterosklerotik sebanyak 2 kali lipat lebih tinggi dan risiko diabetes melitus sebanyak 5 kali lipat lebih tinggi, dibandingkan dengan populasi umum. Sindrom metabolik juga dikaitkan dengan aterosklerosis yang dipercepat, penyakit kardiovaskular aterosklerotik prematur, dan diabetes melitus tipe II yang timbul lebih awal.[1]
Gaya hidup yang tidak banyak bergerak dan konsumsi kalori yang berlebihan telah secara signifikan meningkatkan proporsi populasi dengan obesitas dalam beberapa dekade terakhir. Karena pertumbuhan eksponensial dalam obesitas populasi ini, kejadian sindrom metabolik telah meningkat secara signifikan selama 2 dekade terakhir. Saat ini, lebih dari seperlima orang Amerika, serta populasi Eropa, menderita sindrom metabolik.[1]
Baca juga:
Diabetes: Endemi Baru Indonesia
Pemeriksaan Hitung Darah Lengkap (CBC): Bantu Dokter Tegakkan Diagnosis Penyakit
Prevalensi Sindrom Metabolik
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita sindrom metabolik menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Saat ini, diperkirakan sekitar 1 dari 4 orang di dunia mengalami kondisi ini, menjadikannya salah satu tantangan kesehatan masyarakat paling mendesak secara global. Di berbagai wilayah, angka kejadian sindrom metabolik bervariasi, mulai dari 28 hingga lebih dari 70 kasus per 1.000 orang per tahun.[4]
Perubahan ekonomi yang pesat, pergeseran pola hidup, serta berkurangnya aktivitas fisik turut mendorong lonjakan kasus obesitas dan diabetes tipe 2—dua faktor utama pemicu sindrom metabolik. Apabila tren ini terus berlanjut tanpa intervensi yang tepat, negara-negara berkembang diprediksi akan mengalami peningkatan kasus yang lebih tajam dalam waktu dekat.[4]
Menurut sebuah penelitian epidemiologi juga menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih rentan mengalami sindrom metabolik dibandingkan pria. Risiko ini meningkat seiring dengan faktor-faktor seperti gaya hidup sedentari, kebiasaan merokok, status sosial ekonomi yang rendah, riwayat keluarga dengan diabetes, obesitas, serta adopsi gaya hidup Barat.[4]
Di kawasan Asia, sindrom metabolik dialami oleh sekitar 12% hingga 37% populasi. Di Indonesia sendiri, prevalensi kondisi ini tercatat sebesar 21,66% pada tahun 2019. Satu tahun kemudian, angka tersebut meningkat, dengan prevalensi mencapai 28% pada pria dan 46% pada wanita.[5]
Komplikasi yang Dapat Terjadi Akibat Sindrom Metabolik
Jika lonjakan kasus obesitas dan diabetes tipe 2 tidak terkendali, maka jumlah penderita sindrom metabolik diperkirakan akan terus meningkat, terutama di negara-negara berkembang. Kondisi ini bukan sekadar gangguan metabolisme biasa, tetapi bisa memicu berbagai risiko kesehatan serius yang tak bisa diabaikan.[1]
Sindrom metabolik seringkali dikaitkan dengan berbagai komplikasi kardiovaskular. Penderita memiliki risiko lebih dari dua kali lipat untuk mengalami kejadian serius seperti serangan jantung (infark miokard), stroke (kejadian serebrovaskular), hingga gagal jantung—terlepas dari usia, jenis kelamin, maupun ada tidaknya diabetes. Tak hanya itu, diabetes melitus sendiri merupakan salah satu komplikasi umum dari sindrom ini.[1]
Sebagian besar pasien dengan sindrom metabolik akhirnya juga mengalami diabetes melitus, yang kemudian memperbesar risiko penyakit jantung dan pembuluh darah serta memicu gangguan mikrovaskular (sistem pembuluh darah kecil di dalam tubuh, seperti kapiler, arteriola, dan venula). Selain itu, sindrom metabolik yang dipicu oleh obesitas juga dapat menyebabkan berbagai kondisi lain seperti gangguan tidur (sleep apnea), tekanan darah tinggi di paru-paru (hipertensi pulmonal), hingga nyeri sendi kronis akibat osteoartritis.[1]
Peranan Pemeriksaan Darah Lengkap Dalam Mendeteksi Sindrom Metabolik
Hitung darah lengkap, atau dikenal sebagai Complete Blood Count (CBC), adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang paling sering direkomendasikan oleh dokter. Tes ini memberikan gambaran menyeluruh tentang jumlah dan karakteristik berbagai jenis sel darah dalam tubuh. Meski awalnya digunakan untuk mendeteksi infeksi, anemia, atau kelainan darah, kini semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa parameter dalam CBC juga bisa membantu memprediksi risiko penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung (Cardiovascular Disease/CVD), diabetes tipe 2, arteriosklerosis, dan sindrom metabolik.[6]
Tes CBC mencakup beberapa komponen penting, antara lain:[6]
- Jumlah total dan jenis sel darah putih (White Blood Cells/WBC),
 - Pemeriksaan eritrosit atau sel darah merah (red blood cells/RBC), termasuk kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, dan berbagai indeks sel darah seperti Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), dan Red Cell Distribution (RDW).
 - Jumlah dan ukuran trombosit, termasuk indeks volume trombosit (Mean Platelet Volume/MPV).
 
Lebih lanjut, beberapa rasio yang dihitung dari hasil CBC — seperti rasio neutrofil terhadap limfosit (Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio/NLR), rasio trombosit terhadap limfosit (Platelet-to-Lymphocyte Ratio/PLR), dan rasio monosit terhadap limfosit (Monocyte-to-Lymphocyte Ratio/MLR) — telah banyak diteliti dalam kaitannya dengan berbagai kondisi penyakit kronis.[6]

Hitung darah lengkap dengan hitung jenis sel darah putih.[6]
Secara klinis, hasil CBC digunakan untuk mendeteksi berbagai kondisi medis. Misalnya, peningkatan sel darah putih dapat mengindikasikan infeksi, sementara penurunan hemoglobin menandakan kemungkinan anemia. Jumlah trombosit yang rendah bisa menjadi petunjuk adanya gangguan hati seperti sirosis. Namun, lebih dari itu, kombinasi parameter CBC kini terbukti berpotensi menjadi alat skrining dini untuk mengidentifikasi risiko penyakit serius sebelum gejala muncul.[6]
Dalam praktik medis sehari-hari, banyak dokter menghadapi keterbatasan fasilitas diagnostik, terutama di daerah dengan akses laboratorium yang minim. Di sinilah keunggulan CBC muncul — sebagai tes yang sederhana, murah, dan informatif. Pemeriksaan ini mampu memberikan wawasan tentang proses peradangan kronis, gangguan hemodinamik, dan kerusakan pembuluh darah, yang semuanya terlibat dalam perkembangan penyakit jantung dan gangguan metabolik.[6]
Sebagai contoh, jumlah WBC dan rasio NLR mencerminkan tingkat peradangan dalam tubuh. Sementara itu, nilai RDW dan MCV memberikan informasi tambahan mengenai kondisi sel darah merah dan status hemodinamik. Trombosit juga dapat menjadi indikator penting kerusakan pembuluh darah dan tingkat keparahan penyakit.[6]
Menariknya, sebuah studi menunjukkan bahwa skor risiko yang dihitung dari komponen CBC — seperti jumlah WBC, trombosit, hematokrit, Hb, RDW, MCV, dan MCHC — dapat memprediksi risiko kematian pada pasien dengan dugaan penyakit jantung.[6]
Kesimpulannya, penggunaan parameter CBC, termasuk NLR, RDW, dan MCV, dapat meningkatkan akurasi dalam deteksi dini penyakit jantung dan gangguan metabolik. Karena sifatnya yang mudah diakses, terjangkau, dan kaya informasi, CBC layak dipertimbangkan sebagai alat skrining awal yang efektif di berbagai layanan kesehatan.[6]
Baca juga:
Pemeriksaan Darah Lengkap (CBC) 3 diff & 5 diff: Apa Bedanya?
Pemeriksaan Hitung Darah Lengkap (CBC): Bantu Dokter Tegakkan Diagnosis Penyakit
PT Medquest Jaya Global
Sebagai bagian dari komunitas kesehatan, kami berkomitmen menyediakan alat kesehatan dan solusi inovatif guna mendukung program kesehatan nasional di Indonesia. Kunjungi halaman berikut untuk informasi lebih lanjut mengenai Alat Kesehatan Inovatif dan Berkualitas Terbaik yang kami hadirkan:
Referensi Artikel:
- Swarup, S., Ahmed, I., & Grigorova, Y. (2024, 7 Maret). Sindrom metabolik. Dalam StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan–. Tersedia dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459248/
 - Pahwa, R., & Jialal, I. (2023, 8 Agustus). Dalam StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan–. Tersedia dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507799/
 - Goyal, R., Singhal, M., & Jialal, I. (2023, 23 Juni). Type 2 diabetes. Dalam StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan–. Tersedia dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/
 - Farmanfarma, K., Ansari-Moghaddam, A., Kaykhaei, M., Mohammadi, M., Adineh, H., & Aliabd, H. (2021). Incidence of and factors associated with metabolic syndrome, south-east Islamic Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal, 27(11), 1084–1091. https://doi.org/10.26719/emhj.21.051
 - Pangestu, A. R., Ibrahim, S., Saftarina, F., & Febriawan, R. (2024). Penatalaksanaan perempuan usia 53 tahun dengan sindrom metabolik melalui pendekatan kedokteran keluarga. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, 11(4), 708–719.
 - Seo, I. H., & Lee, Y. J. (2022, 25 Oktober). Usefulness of complete blood count (CBC) to assess cardiovascular and metabolic diseases in clinical settings: A comprehensive literature review. Biomedicines, 10(11), 2697. https://doi.org/10.3390/biomedicines10112697