Meskipun angka kejadian kanker lambung menurun dalam beberapa tahun terakhir, Helicobacter pylori tetap menjadi faktor risiko yang signifikan. Bakteri ini mampu bertahan di lingkungan lambung yang asam dan berperan dalam perkembangan berbagai penyakit lambung, termasuk kanker.
Mengenali infeksi Helicobacter pylori dan memahami langkah-langkah pencegahan serta pengobatannya sangat penting untuk menjaga kesehatan lambung. Bagaimana cara mengenali ancaman ini lebih dini dan apa saja langkah pencegahan yang perlu diambil? Simak penjelasannya berikut ini.
Prevalensi Kanker Lambung
Meskipun terjadi penurunan insiden dan mortalitas selama beberapa dekade terakhir, kanker lambung masih menjadi salah satu tantangan kesehatan utama di seluruh dunia. Menurut estimasi GLOBOCAN 2020, kanker lambung menyebabkan sekitar 800.000 kematian (mencakup 7,7% dari semua kematian akibat kanker), dan menempati peringkat keempat penyebab kematian akibat kanker, baik pada laki-laki maupun perempuan.[1]
Berdasarkan GLOBOCAN 2018, Indonesia termasuk negara dengan risiko kanker lambung rendah dengan Age Standardized Rate (ASR) 1,22/100,000. Negara tetangga kita seperti Malaysia juga dilaporkan memiliki prevalensi infeksi H. pylori yang rendah dan insiden kanker lambung yang rendah (ASR 5,2).[2]
Penyebab Terjadinya Kanker Lambung
![Helicobacter pylori sebagai salah satu penyebab kanker lambung.[2]](https://medquest.co.id/wp-content/uploads/2024/10/Helicobacter-Pylori-sebagai-salah-satu-penyebab-kanker-lambung.jpg)
Helicobacter pylori sebagai salah satu penyebab kanker lambung.[2]
Kanker lambung terjadi akibat perubahan pada sel-sel lambung, khususnya dalam cara mereka tumbuh dan membelah diri. Meskipun terdapat banyak faktor yang berpotensi meningkatkan risiko kanker lambung, sebagian besar tidak secara langsung memicu kanker itu sendiri. Sebaliknya, faktor-faktor ini berperan dalam memperbesar peluang terjadinya kerusakan DNA pada sel, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi kanker lambung.[3]
Faktor-faktor risiko kanker lambung bervariasi, tergantung pada bagian lambung yang terdampak. Misalnya, infeksi bakteri Helicobacter pylori (H. pylori) cenderung meningkatkan risiko kanker pada bagian bawah dan tengah lambung, sementara obesitas dan penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) lebih sering dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker pada bagian atas lambung.[3]
Helicobacter Pylori Salah Satu Penyebab Kanker Lambung

Ilustrasi helicobacter pylori penyebab kanker lambung. Sumber: The New England Journal Of Medicine.
Helicobacter pylori (H. pylori) adalah bakteri berbentuk spiral yang berkembang di lapisan lendir di dalam lambung manusia. Walaupun kebanyakan bakteri tidak dapat bertahan di lingkungan asam lambung, H. pylori memiliki kemampuan untuk menetralkan keasaman di area sekitarnya. Kemampuan ini memungkinkan bakteri tersebut untuk bertahan hidup di dalam kondisi yang seharusnya mematikan bagi mikroorganisme lain.[4]
Cara lain H. pylori bertahan hidup di lingkungan asam lambung adalah dengan menggali ke dalam lapisan lendir dan menempel pada sel-sel yang melapisi permukaan dalamnya. Ini juga membantu bakteri ini terhindar dari kerusakan kekebalan tubuh, karena meskipun sel-sel kekebalan tubuh yang biasanya mengenali dan menyerang bakteri penyerang berkumpul di dekat lokasi infeksi H. pylori, mereka tidak dapat mencapai lapisan lambung.[4]

Ilustrasi lokasi infeksi H. pylori di dalam lambung.[5]
Meskipun infeksi H. pylori sendiri tidak menyebabkan penyakit, infeksi kronis menyebabkan peradangan jangka panjang di lambung (disebut gastritis non-atrofik) pada kebanyakan orang. Peradangan ini dapat menyebabkan beberapa kemungkinan kondisi, termasuk gastritis atrofik (penipisan lapisan lambung yang disebabkan oleh peradangan jangka panjang) dan beberapa jenis kanker lambung (lambung), khususnya adenokarsinoma lambung dan limfoma jaringan limfoid terkait mukosa lambung (MALT), yang merupakan jenis limfoma non-Hodgkin yang langka.[4]
Karena perannya dalam menyebabkan kanker lambung, pada tahun 1994 H. pylori diklasifikasikan sebagai karsinogen manusia, atau agen penyebab kanker, oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada tahun 2021, laporan ke-15 tentang karsinogen oleh Program Toksikologi Nasional U.S. Department of Health and Human Services menambahkan infeksi kronis dengan H. pylori ke dalam daftar zat yang diketahui atau diperkirakan dapat menyebabkan kanker pada manusia.[4]
H. pylori terutama menyebar dari orang ke orang melalui kontak oral dengan tinja (fecal-oral), air liur (oral-oral), atau muntah (gastric-oral). Pada sebagian besar populasi, bakteri ini pertama kali diperoleh selama masa kanak-kanak. Infeksi lebih mungkin terjadi pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, dalam kondisi padat penduduk, dan di daerah dengan sanitasi yang buruk.[4]
Baca juga: Waspadai Infeksi H. Pylori Pada Lambung: Membahayakan Nyawa!
Pemeriksaan Screening dan Diagnostik untuk Mendeteksi H. pylori
Setiap pasien yang mengalami tukak lambung aktif atau memiliki riwayat tukak peptik dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan infeksi H. pylori, kecuali ada bukti bahwa infeksi tersebut sudah sembuh. Selain itu, pasien dengan limfoma jaringan limfoid mukosa lambung atau yang pernah menjalani reseksi endoskopi kanker lambung stadium awal juga harus diperiksa.[6]
Namun, untuk pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal, pemeriksaan H. pylori tidak direkomendasikan, kecuali mereka memiliki riwayat tukak lambung atau dispepsia. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan adanya infeksi H. pylori pada pasien dengan refluks gastroesofageal, pengobatan perlu diberikan, meskipun kemungkinan besar gejala refluks tidak akan mengalami perbaikan.[6]
Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi infeksi H. pylori. Untuk memastikan diagnosis yang akurat, diperlukan tes diagnostik dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tinggi, yaitu lebih dari 90%, terutama dalam praktik klinis.[7]
Saat ini, meskipun banyak tes tersedia, setiap metode memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Pemilihan metode tertentu biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ketersediaan dan aksesibilitas tes, kemampuan laboratorium, kondisi klinis pasien, serta rasio kemungkinan hasil tes positif atau negatif dalam situasi klinis yang berbeda.[7]
Secara umum, tes diagnostik terbagi menjadi dua jenis, yaitu metode invasif dan non-invasif. Tes invasif melibatkan prosedur endoskopi seperti pencitraan, histologi, tes urease cepat, kultur, dan metode molekuler. Sementara itu, tes non-invasif mencakup urea breath test, pemeriksaan antigen tinja, tes serologis, serta metode molekuler.[7]
Untuk informasi selengkapnya mengenai Alat Kesehatan HELIC Ammonia Breath Test, Anda dapat mengunjungi halaman berikut ini:
Terapi Terhadap Infeksi H. pylori dan Faktor yang Harus Diperhatikan
Helicobacter pylori, atau H. pylori, sering kali diberantas dengan kombinasi antibiotik dan obat penekan asam lambung, seperti antagonis H2 dan penghambat pompa proton (PPI). Meskipun antagonis H2 hanya berfungsi mengurangi sekresi asam lambung tanpa mempengaruhi bakteri, PPI lebih diandalkan karena memiliki efek bakteriostatik terhadap H. pylori.[8]
Penggunaan PPI, terutama dalam jangka panjang, dapat menimbulkan efek samping yang dibagi menjadi dua kategori: yang terkait dengan penekanan asam, seperti peningkatan pH lambung dan kondisi hipoklorhidria, serta yang tidak terkait penekanan asam. Efek samping ini dapat memengaruhi flora usus, yang pada gilirannya dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan perubahan metabolisme, termasuk disbiosis mikrobiota.[8]
Penggunaan antibiotik dalam terapi H. pylori menghadapi kendala berupa resistensi bakteri. Ini disebabkan oleh kesulitan antibiotik mencapai bakteri yang bersembunyi di lapisan mukosa lambung yang dalam, serta resistensi bakteri terhadap lingkungan lambung yang sangat asam. Selain itu, terapi antibiotik memerlukan konsumsi beberapa obat sekaligus, yang sering kali tidak nyaman bagi pasien dan meningkatkan risiko kelalaian dosis. Penggunaan antibiotik yang berlebihan juga dapat berdampak pada keseimbangan mikrobioma usus dan menambah biaya pengobatan.[8]
Pilihan terapi lain, seperti terapi berbasis bismut, sering kali tidak tersedia dan dapat menimbulkan efek samping seperti rasa logam di mulut, mual, serta nyeri otot dan sendi. Sementara itu, terapi rifabutin, meskipun efektif, dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia) dan trombosit (trombositopenia), serta meningkatkan risiko resistensi pada bakteri lain, terutama pada pasien dengan HIV. Meskipun berbagai metode pengobatan tersedia, tidak ada yang benar-benar 100% efektif, dan risiko infeksi ulang tetap ada.[8]
Oleh karena itu, bagi penderita yang pernah terinfeksi H. pylori, penting untuk menjaga pola hidup sehat, memperhatikan asupan makanan, serta segera melakukan pemeriksaan jika gejala serupa kembali muncul agar penanganan yang tepat dapat segera dilakukan.[8]
Bagi Anda penyedia fasilitas layanan kesehatan, seperti Rumah Sakit dan Klinik, yang sedang membutuhkan alat kesehatan non-invasif pemeriksaan Helicobacter pylori, silakan kunjungi halaman berikut ini untuk mengetahui informasi selengkapnya:
Referensi Artikel
- Ilic, M., & Ilic, I. (2022). Epidemiology of stomach cancer. World journal of gastroenterology, 28(12), 1187–1203. https://doi.org/10.3748/wjg.v28.i12.1187
- Maulina, S. (2021). Gambaran Umum Infeksi Helicobacter pylori di Indonesia: Apa yang Membedakannya dari Negara dengan Insiden Kanker Lambung Tinggi?. Universitas Airlangga. https://unair.ac.id/gambaran-umum-infeksi-helicobacter-pylori-di-indonesia-apa-yang-membedakannya-dari-negara-dengan-insiden-kanker-lambung-tinggi/ [diakses pada S01 OCT 2024].
- National Cancer Institute. (2023). Stomach Cancer Causes and Risk Factors. National Cancer Institute. https://www.cancer.gov/types/stomach/causes-risk-factors [diakses pada 01 OCT 2024].
- National Cancer Institute. (2023). Helicobacter pylori (H. pylori) and Cancer. https://www.cancer.gov/about-cancer/causes-prevention/risk/infectious-agents/h-pylori-fact-sheet [diakses pada 01 OCT 2024].
- Favian Bayas-Morejón, I., Angélica Tigre-León, R., Riveliño Ramón-Curay, E., & Alberto Núñez-Torres, D. (2019). Helicobacter pylori: A Pathogen of Ample Risk to Health. IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.86789.
- Randel, A. (2018). H. pylori Infection: ACG Updates Treatment Recommendations. American Academy of Family Physicians. https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2018/0115/p135.html [diakses pada 01 OCT 2024].
- Wang, Y. K., Kuo, F. C., Liu, C. J., Wu, M. C., Shih, H. Y., Wang, S. S., Wu, J. Y., Kuo, C. H., Huang, Y. K., & Wu, D. C. (2015). Diagnosis of Helicobacter pylori infection: Current options and developments. World journal of gastroenterology, 21(40), 11221–11235. https://doi.org/10.3748/wjg.v21.i40.11221
- Gupta, A., Shetty, S., Mutalik, S., Chandrashekar H, R., K, N., Mathew, E. M., Jha, A., Mishra, B., Rajpurohit, S., Ravi, G., Saha, M., & Moorkoth, S. (2023). Treatment of H. pylori infection and gastric ulcer: Need for novel Pharmaceutical formulation. Heliyon, 9(10), e20406. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e20406