Home 9 Blog 9 Target Indonesia untuk Capai 0 Kasus Kematian Dengue di 2030

Target Indonesia untuk Capai 0 Kasus Kematian Dengue di 2030

Oct 10, 2025 • 11 minutes read

Target Indonesia untuk Capai 0 Kasus Kematian Dengue di 2030

Dinukil dari website Kemenkes terkait dengan penyakit infeksi dengue, Kementerian Kesehatan bersama Kaukus Kesehatan DPR RI resmi mendeklarasikan kolaborasi nasional dalam menghadapi penyakit demam berdarah dengue (DBD). Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa koalisi ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah. Tujuan utama gerakan ini adalah mempercepat pencapaian target zero dengue death by 2030, yaitu bebas kematian akibat dengue pada tahun 2030.[1]

Langkah percepatan ini dianggap penting karena pola penyebaran nyamuk Aedes aegypti kini mengalami perubahan. Jika sebelumnya populasi nyamuk lebih banyak muncul di musim hujan, saat ini keberadaannya dapat ditemukan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Kondisi tersebut membuat angka kasus DBD di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan strategi terpadu untuk menekan penyebarannya.[1]

 

 

 

Prevalensi Kasus DBD di Seluruh Dunia

Selama dua dekade terakhir, kasus demam berdarah dengue meningkat tajam di seluruh dunia. Data WHO menunjukkan lonjakan dari sekitar 505 ribu kasus pada tahun 2000 menjadi lebih dari 14,6 juta kasus pada 2024. Sebagian besar penderita hanya mengalami gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, sehingga banyak kasus yang tidak tercatat secara resmi. Kini, penyakit ini sudah bersifat endemik di lebih dari 100 negara.[2]

Tahun 2024 mencatat angka kasus dengue tertinggi sepanjang sejarah, dengan lebih dari 14,6 juta kasus dan lebih dari 12 ribu kematian dilaporkan. Penularan yang terus berlangsung, ditambah lonjakan mendadak di berbagai wilayah, membuat dengue menjadi ancaman global. Kawasan Amerika menyumbang beban terbesar, dengan lebih dari 13 juta kasus yang dilaporkan ke WHO.[2]

Peningkatan risiko penyebaran dengue dipengaruhi oleh banyak faktor. Perubahan iklim dengan suhu lebih hangat, curah hujan tinggi, dan kelembaban yang meningkat menciptakan kondisi ideal bagi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Vektor ini kini ditemukan di wilayah yang sebelumnya bebas dari dengue. Lemahnya sistem kesehatan, terbatasnya pengawasan, serta kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil juga memperburuk penyebaran penyakit ini.[2]

 

Perbedaan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus

Perbedaan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Sumber: Media Indonesia.

 

Menurut model perkiraan, ada sekitar 390 juta infeksi virus dengue setiap tahun, dengan 96 juta di antaranya menimbulkan gejala klinis. Studi terbaru bahkan memperkirakan 5,6 miliar orang di dunia berisiko terpapar demam berdarah maupun arbovirus lainnya. Hanya dalam periode Januari hingga Juli 2025, WHO mencatat lebih dari 4 juta kasus dan lebih dari 3.000 kematian dari 97 negara.[2]

Penyebaran demam berdarah kini meluas ke wilayah baru, termasuk Eropa dan Mediterania Timur. Pada tahun 2024, WHO menerima laporan 308 kasus dari Prancis, Italia, dan Spanyol. Selain itu, 1.291 kasus tambahan serta empat kematian tercatat di wilayah seberang laut Prancis, yaitu Mayotte dan Réunion.[2]

 

Lonjakan Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia

Dengue merupakan penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk, khususnya Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi ini menjadi salah satu penyebab utama penyakit virus yang ditularkan artropoda di seluruh dunia, sekaligus tantangan besar bagi kesehatan global. Penyakit yang kerap disebut breakbone fever atau “demam 7 hari” ini ditandai dengan demam tinggi, nyeri otot hebat, serta pegal di persendian. Walau sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala, kasus berat hingga kematian tetap dapat terjadi, terutama di wilayah tropis dan subtropis.[3]

Dalam beberapa dekade terakhir, kasus demam berdarah meningkat tajam dan kini bersifat endemik di banyak negara. Mobilitas manusia yang semakin tinggi diyakini berperan memperluas penyebarannya. Setiap tahun, diperkirakan lebih dari 100 juta kasus tercatat di dunia, dengan angka kematian mencapai 20.000 hingga 25.000 orang. Infeksi dengue juga dapat berkembang menjadi Demam Berdarah Dengue (DBD), yang ditandai dengan kebocoran plasma, perdarahan serius, hingga komplikasi organ, terutama pada individu dengan riwayat infeksi dengue sebelumnya.[3]

Di Indonesia, Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan serius hingga 2025. Data Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 56.000 kasus hingga Mei 2025, dengan 250 di antaranya berujung kematian. Kasus DBD tercatat di 456 kabupaten/kota atau sekitar 87% wilayah Indonesia, meningkat 40% dibandingkan tahun 2024. Provinsi dengan kasus tertinggi meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Anak-anak serta lansia menjadi kelompok paling rentan, sementara lonjakan kasus mencerminkan lemahnya pengendalian nyamuk serta belum konsistennya pelaksanaan kebijakan pencegahan di daerah.[4]

 

Perjalanan Virus DBD

Siklus hidup virus dengue

Siklus hidup virus dengue. Sumber: sciencedirect.com

 

Virus dengue termasuk dalam keluarga Flaviviridae dengan ukuran sekitar 50 nanometer. Virus ini memiliki tiga protein struktural, tujuh protein non-struktural, lapisan lipid, serta materi genetik berupa RNA untai tunggal positif sepanjang 10,7 kb.[3]

Pada sebagian besar orang, hingga 75% kasus, infeksi berlangsung tanpa gejala. Namun, spektrum penyakitnya sangat bervariasi, mulai dari demam ringan yang pulih sendiri hingga komplikasi serius berupa perdarahan dan syok. Sekitar 0,5% hingga 5% kasus dapat berkembang menjadi demam dengue berat, yang tanpa penanganan medis tepat berisiko meningkatkan angka kematian lebih dari 20%, terutama pada anak-anak.[3]

Masa inkubasi dengue umumnya berlangsung 4–7 hari setelah gigitan nyamuk, dengan gejala bertahan 3–10 hari. Apabila keluhan baru muncul lebih dari dua minggu setelah paparan, besar kemungkinan penyebabnya bukanlah demam dengue. Gejala klasik yang sering dikeluhkan meliputi demam tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, serta ruam pada kulit.[3]

Mekanisme awal infeksi dimulai ketika nyamuk menyuntikkan virus dengue ke dalam kulit. Sel imun seperti makrofag dan sel dendritik diduga menjadi sasaran pertama. Sel-sel ini kemudian bermigrasi menuju kelenjar getah bening, sebelum virus menyebar ke organ lain melalui sistem limfatik. Kondisi yang disebut viremia, yakni keberadaan virus dalam aliran darah, biasanya muncul 24–48 jam sebelum gejala terlihat.[3]

Tingkat keparahan demam dengue dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor virus dan respon imun tubuh. Kasus berat sering ditandai dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan sindrom syok. Kondisi ini lebih sering terjadi pada infeksi serotipe dengue kedua, akibat respons imun yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun, kasus serotipe tunggal juga bisa menyebabkan dengue berat. Menariknya, kebocoran mikrovaskular justru sering meningkat saat jumlah virus dalam darah mulai menurun.[3]

 

Manifestasi Klinis

1. Infeksi Dengue: Penyakit Dinamis dengan Gejala yang Beragam

Dengue adalah penyakit infeksi sistemik yang dapat berkembang cepat dengan tingkat keparahan berbeda, mulai dari ringan hingga mengancam nyawa. Penyakit ini muncul tiba-tiba setelah masa inkubasi, kemudian berjalan melalui tiga fase utama: demam, fase kritis, dan fase pemulihan.[5]

Pada fase demam, pasien biasanya mengalami panas tinggi mendadak, sekitar 39–40°C, yang bisa berlangsung 2–7 hari. Keluhan sering disertai sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, serta kemerahan pada wajah, leher, dan dada. Ruam kulit bisa muncul pada hari ke-3 atau ke-4, lalu menghilang ketika suhu tubuh menurun. Gejala tambahan seperti nyeri tenggorokan, mual, muntah, atau mata merah juga dapat ditemukan.[5]

Pada tahap ini, sulit membedakan dengue dari infeksi virus lain hanya dengan melihat gejalanya. Salah satu cara membantu diagnosis dini adalah tes torniket, yang bila hasilnya positif meningkatkan kecurigaan terhadap infeksi dengue. Namun, tanda klinis di fase awal belum bisa menentukan apakah pasien akan mengalami dengue ringan atau berat.[5]

 

2. Fase Kritis dan Tanda Bahaya Dengue

Pemantauan ketat menjadi penting ketika pasien memasuki fase kritis. Pada tahap ini dapat muncul perdarahan ringan, misalnya bintik merah kecil (petechiae) atau perdarahan gusi dan hidung. Pada sebagian kasus jarang, terjadi perdarahan berat seperti perdarahan saluran cerna atau perdarahan vagina pada wanita usia subur. Hati sering membesar setelah beberapa hari demam.[5]

Perubahan pada hasil laboratorium menjadi petunjuk penting. Penurunan jumlah sel darah putih (leukosit) sering terlihat, disertai peningkatan hematokrit akibat kebocoran plasma. Kondisi ini biasanya terjadi ketika suhu tubuh menurun menjadi normal, yakni 37,5–38°C, pada hari ke-3 sampai ke-7 sakit. Kebocoran plasma berlangsung sekitar 24–48 jam dan sering didahului penurunan jumlah trombosit yang cepat.[5]

 

3. Risiko Syok akibat Kebocoran Plasma

Pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma umumnya akan membaik, sedangkan pada pasien dengan kebocoran plasma, cairan tubuh berpindah keluar pembuluh darah. Akibatnya, bisa muncul efusi pleura atau penumpukan cairan di rongga perut (asites). Peningkatan hematokrit dibandingkan hasil awal sering mencerminkan derajat kebocoran plasma.[5]

Jika plasma hilang dalam jumlah besar, pasien bisa mengalami syok. Kondisi ini ditandai dengan penurunan suhu tubuh hingga di bawah normal, diikuti tanda sirkulasi yang tidak stabil. Syok dapat memicu gangguan fungsi organ, asidosis metabolik, gangguan pembekuan darah, hingga perdarahan berat. Pada tahap ini, jumlah leukosit kadang justru meningkat, terutama pada pasien dengan perdarahan masif.[5]

 

4. Fase Pemulihan pada Pasien Dengue

Pasien dengan tanda bahaya membutuhkan penanganan cepat berupa pemberian cairan intravena. Bila ditangani dengan tepat, sebagian besar pasien dapat pulih. Selama 48–72 jam setelah fase kritis, cairan tubuh yang keluar ke jaringan akan kembali terserap, sehingga kondisi pasien berangsur membaik. Nafsu makan kembali, gejala pencernaan mereda, dan produksi urine meningkat.[5]

Namun, pada fase ini bisa muncul ruam baru atau rasa gatal pada kulit. Beberapa pasien mengalami bradikardia atau perubahan pada rekam jantung. Hematokrit cenderung stabil atau lebih rendah karena efek cairan yang kembali terserap. Jumlah sel darah putih biasanya meningkat lebih dulu, sedangkan trombosit membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.[5]

Meski pasien terlihat membaik, pemberian cairan infus berlebihan justru berisiko menimbulkan komplikasi seperti edema paru atau gagal jantung. Oleh karena itu, penanganan dengue harus dilakukan dengan pemantauan ketat agar terapi yang diberikan sesuai kebutuhan tubuh pasien.[5]

 

Pemeriksaan Penujang untuk Menegakkan Diagnosis DBD

Perbandingan tes diagnostik berdasarkan ketersediaan dan tingkat keandalan

Perbandingan tes diagnostik berdasarkan ketersediaan dan tingkat keandalan.[6]

Ada sejumlah pemeriksaan medis yang dapat membantu dokter memastikan seseorang benar-benar mengalami demam berdarah dengue (DBD). Pemeriksaan ini penting untuk membedakan DBD dari penyakit lain dengan gejala yang mirip, berikut diantaranya:[6]

1. Isolasi Virus

Pengambilan spesimen untuk isolasi virus sebaiknya dilakukan pada fase awal infeksi, tepatnya saat viremia (umumnya sebelum hari ke-5). Virus bisa diperoleh dari serum, plasma, sel darah mononuklear tepi, hingga jaringan hasil otopsi seperti hati, paru-paru, kelenjar getah bening, timus, dan sumsum tulang.[6]

Metode paling umum untuk isolasi virus dengue adalah kultur sel. Lini sel nyamuk seperti C6/36 (dari Aedes albopictus) atau AP61 (dari Aedes pseudoscutellaris) menjadi pilihan utama untuk isolasi rutin.[6]

Namun, tidak semua tipe liar virus dengue menimbulkan efek sitopatik pada sel nyamuk. Karena itu, kultur sel biasanya diperiksa dengan uji imunofluoresensi menggunakan antibodi monoklonal spesifik serotipe, antibodi reaktif flavivirus, atau antibodi reaktif kompleks dengue.[6]

Selain sel nyamuk, kultur sel mamalia seperti Vero, LLCMK2, dan BHK21 juga dapat digunakan, meskipun efisiensinya lebih rendah. Proses isolasi yang dilanjutkan dengan uji imunofluoresensi untuk konfirmasi biasanya memerlukan waktu 1–2 minggu, serta sangat bergantung pada penyimpanan dan transportasi spesimen agar virus tetap hidup.[6]

 

2. Deteksi Asam Nukleat

2.1. RT-PCR (Reverse Transcriptase – PCR)

RT-PCR merupakan salah satu metode utama untuk mendeteksi virus dengue dengan sensitivitas yang cukup tinggi, berkisar antara 80% hingga 100%. Tingkat akurasi dipengaruhi oleh bagian genom yang menjadi target primer, teknik amplifikasi yang digunakan (misalnya RT-PCR satu langkah atau dua langkah), serta metode identifikasi subtipe virus seperti PCR bersarang atau analisis sekuens.[6]

Untuk menghindari hasil positif palsu, pemeriksaan harus menargetkan bagian genom spesifik dengue yang tidak dimiliki virus flavivirus lain. Kontaminasi dari amplifikasi sebelumnya juga bisa menyebabkan kesalahan hasil. Oleh karena itu, pemisahan tiap tahap prosedur serta penerapan protokol dekontaminasi yang ketat sangat penting dalam menjaga keakuratan tes.[6]

2.2. Real-Time PCR

Real-Time RT-PCR adalah metode satu langkah yang digunakan untuk mengukur jumlah RNA virus dengue dengan primer dan probe yang dirancang khusus untuk setiap serotipe. Dengan teknologi fluoresen, hasil dapat dipantau secara langsung dalam mesin PCR tanpa perlu elektroforesis, sehingga proses lebih praktis dan cepat.[6]

Pemeriksaan ini bisa dilakukan secara singleplex (satu serotipe per tes) atau multiplex (mendeteksi empat serotipe sekaligus). Metode multiplex memberikan keuntungan karena lebih efisien dan meminimalkan risiko kontaminasi. Namun, sensitivitasnya masih lebih rendah dibandingkan RT-PCR bersarang. Keunggulan lain dari Real-Time PCR adalah kemampuannya menghitung jumlah virus dalam sampel, yang bermanfaat untuk penelitian mengenai perjalanan penyakit dengue.[6]

2.3. Metode Amplifikasi Isothermal

Metode NASBA (Nucleic Acid Sequence-Based Amplification) merupakan teknik amplifikasi RNA yang bekerja pada suhu tetap, sehingga tidak membutuhkan alat siklus termal. Prosesnya dimulai dengan transkripsi balik RNA menjadi DNA, lalu digunakan sebagai cetakan untuk menghasilkan salinan RNA baru. Hasil amplifikasi ini dapat dideteksi dengan metode elektrokemiluminesensi atau probe fluoresen secara real-time.[6]

NASBA telah dikembangkan untuk mendeteksi virus dengue dengan sensitivitas yang sebanding dengan kultur sel, sehingga berpotensi digunakan dalam penelitian lapangan. Selain NASBA, metode amplifikasi berbasis loop juga sedang dipelajari, meski hingga kini performanya masih perlu dibandingkan lebih lanjut dengan teknik amplifikasi asam nukleat lainnya.[6]

 

3. Deteksi Antigen

Hingga saat ini, deteksi antigen dengue dalam serum fase akut jarang terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder karena pasien tersebut telah memiliki imunokompleks antibodi virus-IgG sebelumnya. Perkembangan terbaru dalam uji ELISA dan dot blot yang ditujukan untuk antigen selubung/membran (E/M) dan protein non-struktural 1 (NS1) menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi antigen ini dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer maupun sekunder hingga sembilan hari setelah timbulnya penyakit.[6]

Glikoprotein NS1 diproduksi oleh semua flavivirus dan disekresikan dari sel mamalia. NS1 menghasilkan respons humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah diarahkan untuk menggunakan deteksi NS1 guna mendiagnosis infeksi virus dengue secara dini. Kit komersial untuk mendeteksi antigen NS1 kini tersedia, meskipun tidak dapat membedakan serotipe dengue. Kinerja dan kegunaannya saat ini sedang dievaluasi oleh laboratorium di seluruh dunia, termasuk jaringan laboratorium WHO/TDR/PDVI.[6]

Uji antibodi fluoresensi, imunoperoksidase dan enzim avidin-biotin memungkinkan deteksi antigen virus dengue dalam leukosit yang difiksasi aseton dan dalam jaringan yang dibekukan cepat atau difiksasi formalin yang dikumpulkan saat otopsi.[6]

 

4. Uji Serologi

Beberapa metode serologi digunakan dalam diagnosis infeksi dengue. Uji ini membantu mendeteksi antibodi yang terbentuk akibat infeksi, serta membedakan antara infeksi primer maupun sekunder.[6]

4.1. MAC-ELISA

Metode MAC-ELISA digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dalam serum pasien. Pada pengujian ini, antibodi IgM ditangkap oleh antibodi spesifik yang dilapiskan pada mikroplat. Antigen virus dengue dari keempat serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) kemudian berikatan dengan antibodi tersebut.[6]

Hasil ikatan ini selanjutnya dideteksi menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan enzim. Enzim ini mengubah substrat tak berwarna menjadi berwarna, lalu diukur dengan spektrofotometer untuk menentukan adanya infeksi dengue.[6]

4.2. ELISA IgG

ELISA IgG digunakan untuk mengetahui apakah pasien pernah atau baru saja terinfeksi dengue. Pemeriksaan ini memakai antigen yang sama seperti MAC-ELISA. Dalam praktiknya, metode ini mampu mendeteksi antibodi IgG hingga 10 bulan setelah infeksi.[6]

Antibodi IgG dapat bertahan seumur hidup, namun untuk memastikan infeksi terbaru, diperlukan peningkatan kadar antibodi minimal empat kali lipat pada serum fase akut dan konvalesen. Metode ini juga dapat membedakan apakah seseorang mengalami infeksi dengue primer atau sekunder.[6]

Meski demikian, uji IgG memiliki keterbatasan karena kadang kurang spesifik pada kelompok flavivirus lain. Selain itu, antibodi yang baru terbentuk biasanya memiliki daya ikat (avidity) lebih rendah dibanding antibodi lama yang muncul setelah beberapa bulan atau tahun.[6]

4.3. Rasio IgM/IgG

Rasio IgM/IgG banyak digunakan untuk membedakan infeksi primer dari sekunder. Umumnya, pengujian ini dilakukan dengan metode ELISA untuk menangkap IgM maupun IgG.[6]

Di beberapa laboratorium, infeksi primer ditetapkan jika rasio OD IgM/IgG lebih dari 1,2 atau 1,4, tergantung pada pengenceran serum. Bila nilainya lebih rendah, infeksi dikategorikan sebagai sekunder. Namun, karena rasio ini bisa berbeda antar laboratorium, standar yang lebih seragam masih diperlukan agar hasil lebih konsisten.[6]

4.4. IgA

Deteksi IgA anti-dengue dapat dilakukan dengan metode AAC-ELISA. Antibodi IgA biasanya muncul satu hari setelah IgM, mencapai puncak sekitar hari ke-8 demam, lalu menurun hingga tidak terdeteksi pada hari ke-40.[6]

Baik pada infeksi primer maupun sekunder, kadar IgA tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Walau kadarnya lebih rendah dibanding IgM, pengujian IgA—baik dari serum maupun saliva—dapat menjadi tambahan informasi dalam interpretasi serologi dengue. Namun, metode ini jarang dipakai secara rutin dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[6]

4.5. Haemagglutination-Inhibition Test (HI)

Uji hemaglutinasi-inhibisi (HI) bekerja dengan prinsip kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan sel darah merah. Antibodi anti-dengue dalam serum dapat menghambat proses ini, sehingga pengukuran dilakukan berdasarkan kekuatan hambatan tersebut.[6]

Sebelum diuji, serum pasien diproses untuk menghilangkan pengaruh penghambat non-spesifik. Uji ini biasanya memerlukan serum berpasangan—fase akut dan konvalesen—dengan selang waktu lebih dari tujuh hari.[6]

Kelemahan metode HI adalah tidak bisa membedakan infeksi dengue dari flavivirus lain, misalnya virus ensefalitis Jepang atau West Nile. Pada infeksi primer, antibodi baru muncul perlahan setelah hari ke-5 demam. Sebaliknya, pada infeksi sekunder, titer antibodi HI meningkat tajam dan bisa mencapai lebih dari 1:1280.[6]

 

5. Tes Hematologi

Pemeriksaan kadar trombosit dan hematokrit umumnya dilakukan pada fase akut infeksi dengue. Proses ini perlu dikerjakan dengan cermat, menggunakan standar prosedur, reagen, serta alat laboratorium yang terkalibrasi untuk memastikan hasil yang akurat.[6]

Penurunan jumlah trombosit hingga di bawah 100.000 per mikroliter dapat muncul pada kasus demam dengue. Namun, kondisi ini lebih khas ditemukan pada demam berdarah dengue. Biasanya, trombositopenia mulai terlihat pada hari ke-3 hingga ke-8 sejak gejala pertama kali muncul.[6]

Selain itu, adanya hemokonsentrasi juga menjadi indikator penting. Peningkatan hematokrit sebesar 20% atau lebih dibandingkan nilai normal saat pemulihan dapat menandakan hipovolemia. Hal ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran plasma.[6]

 

PT Medquest Jaya Global

Sebagai bagian dari komunitas kesehatan, kami berkomitmen menyediakan alat kesehatan dan solusi inovatif guna mendukung program kesehatan nasional di Indonesia. Kunjungi halaman berikut untuk informasi lebih lanjut mengenai Alat Kesehatan inovatif dan berkualitas terbaik yang kami hadirkan:

Pelajari Selengkapnya

 

 

 

Referensi Artikel:

  1. Kementerian Kesehatan RI. (2023). Kemenkes Kolaborasi Dengan Kaukus Kesehatan DPR RI, Luncurkan KOBAR Lawan Dengue. Kementerian Kesehatan RI. https://kemkes.go.id/id/%20kemenkes-kolaborasi-dengan-kaukus-dpr-ri-luncurkan-kobar-lawan-dengue [diakses pada 24 september 2025].
  2. World Health Organization. (2025). Dengue. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue [diakses pada 24 september 2025].
  3. Schaefer TJ, Panda PK, Wolford RW. Demam Berdarah Dengue. [Diperbarui 6 Maret 2024]. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; Januari 2025. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430732/
  4. Lestari, T. R. P. (2025). Menjaga komitmen nasional pengendalian DBD menuju nol kematian tahun 2030 (Vol. XVII, No. 11/I/PUSAKA/Juni 2025). Pusat Analisis Keparlemenan DPR RI. Diakses 24 September 2025, dari https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-11-I-P3DI-Juni-2025-196.pdf
  5. Melly , A. ., & Anggraini, D. (2022). Aspek Klinis dan Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis Demam Berdarah Dengue. Scientific Journal, 1(1), 70–78. https://doi.org/10.56260/sciena.v1i1.13
  6. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control: New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009. 4, LABORATORY DIAGNOSIS AND DIAGNOSTIC TESTS. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK143156/
Share

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.