Home 9 Blog 9 Mengapa Kasus Chikungunya Naik Tajam di 2025? Ini Penjelasan Ahli dan Data Kemenkes

Mengapa Kasus Chikungunya Naik Tajam di 2025? Ini Penjelasan Ahli dan Data Kemenkes

Nov 14, 2025 • 8 minutes read

Mengapa Kasus Chikungunya Naik Tajam di 2025? Ini Penjelasan Ahli dan Data Kemenkes

Kementerian Kesehatan melaporkan adanya peningkatan signifikan kasus chikungunya di Indonesia pada awal tahun 2025. Jumlah ini tercatat lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023 dan 2024. Lonjakan tersebut berkaitan erat dengan datangnya musim penghujan yang menjadi waktu ideal bagi nyamuk penular chikungunya berkembang biak.[1]

Grafik tren suspek Chikungunya di Indonesia tahun 2023-2025.[1]

Grafik tren suspek Chikungunya di Indonesia tahun 2023-2025.[1]

Data yang dirilis Kemenkes menunjukkan lima provinsi dengan jumlah kasus suspek chikungunya tertinggi pada tahun 2025. Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 8.459 kasus, disusul Jawa Tengah sebanyak 4.242 kasus, Jawa Timur 3.099 kasus, Sumatera Utara 1.353 kasus, dan Banten dengan 1.222 kasus.[1]

Kasus Suspek Chikungunya Berdasarkan Provinsi Tahun 2025.[1]

Kasus Suspek Chikungunya Berdasarkan Provinsi Tahun 2025.[1]

Tren peningkatan kasus di wilayah-wilayah tersebut memperlihatkan perlunya kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ini, terutama saat curah hujan tinggi. Upaya pencegahan seperti menjaga kebersihan lingkungan dan menghindari genangan air menjadi langkah penting untuk menekan penyebarannya.[1]

 

 

Sejarah Chikungunya

Penyakit Chikungunya pertama kali teridentifikasi di Afrika Timur pada tahun 1952. Nama Chikungunya berasal dari bahasa Swahili yang berarti “menekuk” atau “membungkuk”. Istilah ini menggambarkan kondisi penderita yang mengalami nyeri hebat pada sendi hingga tubuhnya tampak membungkuk karena kesakitan. Gejala ini menjadi ciri khas utama penyakit Chikungunya yang membuat penderitanya sulit beraktivitas akibat rasa nyeri yang intens.[2]

Seiring waktu, penyebaran virus Chikungunya meluas dan menimbulkan wabah di berbagai wilayah tropis Asia dan Afrika. Di Indonesia, virus ini pertama kali terdeteksi pada awal tahun 1970-an dengan kasus yang muncul di Sumatera Selatan, Pulau Jawa, dan Kalimantan Barat. Dari wilayah tersebut, penyebaran berlanjut ke Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua.[2]

Menurut data dari Universitas Stanford, laporan pertama kasus demam Chikungunya di Indonesia tercatat di Samarinda pada tahun 1973. Beberapa tahun kemudian, wabah serupa dilaporkan di Kuala Tungkal, Jambi (1980), dan meluas hingga Martapura, Ternate, serta Yogyakarta pada tahun 1983. Perjalanan panjang wabah ini menunjukkan bagaimana virus Chikungunya terus beradaptasi dan menyebar di berbagai daerah tropis Indonesia.[2]

 

Cara Penularan Virus Chikungunya

Virus Chikungunya menyebar melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi, terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini juga menjadi pembawa virus dengue dan Zika. Aktivitas gigitannya paling tinggi pada siang hari, dan Aedes aegypti dapat mencari mangsa baik di dalam maupun di luar ruangan.[3]

Nyamuk betina biasanya bertelur di wadah berisi air tergenang, seperti pot bunga, kaleng bekas, atau penampungan air rumah tangga. Aedes albopictus lebih sering beraktivitas di luar ruangan, sedangkan Aedes aegypti memiliki kemampuan beradaptasi di lingkungan dalam rumah, sehingga meningkatkan risiko penularan di area pemukiman padat.[3]

Saat nyamuk sehat menggigit seseorang yang memiliki virus CHIKV dalam darahnya, virus tersebut masuk ke tubuh nyamuk. Setelah melalui masa replikasi selama beberapa hari, virus berpindah ke kelenjar ludah nyamuk. Ketika nyamuk yang telah terinfeksi ini menggigit orang lain, virus berpindah dan menginfeksi manusia baru. Proses ini terus berulang, membentuk rantai penularan yang berkelanjutan.[3]

 

Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Perbedaan antara Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Perbedaan antara Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Sumber: Dinkes Kab Sukoharjo.

Kedua spesies nyamuk ini memiliki kemampuan biologis yang membuatnya sangat efisien dalam menyebarkan virus Chikungunya. Daya invasi mereka tinggi karena memiliki ketertarikan khusus terhadap darah manusia dan dapat bertahan di lingkungan yang jauh dari habitat aslinya.[4]

Efektivitas penularan atau kompetensi vektor ditentukan oleh kemampuan fisiologis nyamuk dalam mengisap darah yang mengandung virus, kemudian menginfeksi kelenjar ludahnya. Dari situlah virus dapat ditularkan ke manusia berikutnya.[4]

Faktor lain yang menentukan besarnya potensi wabah disebut kapasitas vektor, yang dipengaruhi oleh kondisi internal seperti genetik dan daya tahan nyamuk, serta faktor eksternal seperti suhu, kelembapan, dan kondisi lingkungan. Kepadatan populasi nyamuk, frekuensi menggigit manusia, serta lama masa inkubasi virus di tubuh nyamuk turut menentukan seberapa cepat penyebaran infeksi dapat terjadi di suatu wilayah.[4]

 

Gejala Infeksi Virus Chikungunya

Infeksi virus chikungunya biasanya mulai menimbulkan gejala sekitar 4–8 hari setelah seseorang digigit nyamuk yang terinfeksi, meskipun dalam beberapa kasus bisa muncul lebih cepat atau lebih lambat. Gejalanya diawali dengan demam tinggi yang datang tiba-tiba, disertai nyeri sendi hebat yang membuat penderita sulit beraktivitas. Nyeri ini bisa berlangsung beberapa hari, tetapi pada sebagian orang dapat menetap selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.[3]

Selain nyeri sendi, penderita chikungunya juga sering mengalami pembengkakan sendi, nyeri otot, sakit kepala, mual, kelelahan, dan muncul ruam di kulit. Karena gejalanya mirip dengan infeksi dengue atau Zika, penyakit ini kerap salah didiagnosis. Bila tidak ada nyeri sendi yang berat, infeksinya bisa terasa ringan dan bahkan tidak terdeteksi.[3]

Sebagian besar penderita dapat pulih sepenuhnya, tetapi pada sebagian kecil kasus dapat timbul komplikasi yang memengaruhi mata, jantung, atau sistem saraf. Risiko penyakit berat lebih tinggi pada bayi baru lahir yang terpapar virus dari ibu yang terinfeksi serta pada lansia dengan penyakit kronis. Kondisi parah dapat menyebabkan gangguan organ dan membutuhkan perawatan di rumah sakit.[3]

Setelah sembuh, tubuh umumnya membentuk kekebalan jangka panjang terhadap virus chikungunya, sehingga kemungkinan kecil untuk terinfeksi kembali di masa mendatang.[3]

 

Pemeriksaan yang Direkomendasikan untuk Diagnosis Chikungunya

Algoritma diagnosis infeksi virus chikungunya

Algoritma diagnosis infeksi virus chikungunya.[5]

Pemeriksaan laboratorium berperan penting dalam menekan angka kesakitan akibat infeksi virus chikungunya (CHIKV). Berbagai metode pemeriksaan kini tersedia, baik hasil pengembangan laboratorium riset maupun komersial. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai penanda infeksi virus seperti antibodi (IgG dan IgM), antigen, atau materi genetik (genom) CHIKV.[5]

1. Pemeriksaan Molekuler

Metode molekuler menjadi pilihan utama untuk mendeteksi genom virus CHIKV secara langsung. Dua teknik yang sering digunakan yaitu:[5]

  • RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction)
  • Amplifikasi isotermal

Kedua metode ini mampu mendeteksi virus pada fase awal infeksi, bahkan sebelum tubuh membentuk antibodi. Karena itu, hasilnya lebih cepat dan akurat untuk diagnosis dini.[5]

2. Pemeriksaan Antigen

Selain pemeriksaan molekuler, deteksi antigen virus juga sering digunakan. Beberapa metode yang umum antara lain:[5]

  • ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
  • IFA (Immunofluorescence Assay)
  • Rapid Diagnostic Test (RDT)
  • Immunoblot

Tes-tes ini membantu mengidentifikasi keberadaan antigen CHIKV di dalam darah. Meskipun akurasinya lebih rendah dibanding RT-PCR, metode ini lebih cepat dan mudah dilakukan di fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas.[5]

3. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM anti-CHIKV yang terbentuk setelah infeksi. Tes ini banyak digunakan di negara berkembang karena biayanya lebih rendah dan tidak membutuhkan peralatan canggih.[5]

Namun, hasil tes serologi kadang tidak spesifik. Ada kemungkinan terjadi reaktivitas silang dengan virus lain dari kelompok alphavirus, karena struktur antigen yang mirip. Akibatnya, hasil positif perlu dikonfirmasi dengan uji lanjutan.[5]

4. Uji Konfirmasi: Standar Emas

Untuk memastikan hasil pemeriksaan, digunakan uji netralisasi reduksi lempeng (PRNT) atau uji mikroneutralisasi. Kedua metode ini berfungsi mendeteksi antibodi penetral yang benar-benar spesifik terhadap CHIKV.[5]

Meski memiliki tingkat akurasi tinggi, uji ini jarang digunakan secara rutin karena membutuhkan:[5]

  • Tenaga ahli dengan pelatihan khusus
  • Fasilitas laboratorium dengan tingkat keamanan biologis tinggi (BSL)
  • Proses kerja yang kompleks dan waktu lebih lama

5. Tantangan dalam Diagnosis

Menegakkan diagnosis chikungunya tidak selalu mudah. Gejala penyakit ini sering menyerupai demam berdarah, tifus, atau malaria, sehingga sulit dibedakan hanya dari tanda klinis.[5]

Metode RT-PCR sebenarnya merupakan standar emas untuk diagnosis, tetapi biayanya mahal dan tidak semua laboratorium di negara berkembang memiliki fasilitas yang memadai. Inilah sebabnya banyak kasus chikungunya di wilayah endemis sering tidak terdiagnosis secara pasti.[5]

6. Arah Penelitian dan Pengembangan Tes Cepat

Deteksi antigen CHIKV kini menjadi fokus penelitian karena menawarkan metode diagnosis yang lebih cepat dan praktis. Tes cepat atau RDT chikungunya dianggap berpotensi besar membantu penanganan awal kasus di lapangan.[5]

Namun, ketersediaan RDT di daerah endemis masih terbatas. Diperlukan upaya kolaboratif antara lembaga kesehatan, pemerintah, dan industri diagnostik untuk memastikan tes cepat yang akurat dan terjangkau dapat diakses oleh masyarakat.[5]

Penelitian lanjutan juga dibutuhkan untuk menilai seberapa besar dampak penggunaan RDT terhadap penatalaksanaan kasus demam akut di fasilitas kesehatan, terutama dalam mendukung sistem diagnosis terpadu penyakit menular.[5]

 

Penatalaksanaan Chikungunya (CHIKV)

Saat ini belum ada obat antivirus khusus untuk chikungunya. Namun, beberapa terapi masih dalam tahap penelitian. Pasien yang diduga mengalami chikungunya perlu mendapatkan evaluasi menyeluruh untuk menyingkirkan kemungkinan demam berdarah, mengingat gejala keduanya bisa sangat mirip.[6]

Penanganan utama chikungunya berfokus pada perawatan suportif untuk meredakan gejala. Istirahat yang cukup, asupan cairan yang memadai, serta pemberian obat pereda nyeri dan penurun demam menjadi langkah dasar yang penting. Obat antiinflamasi nonsteroid dapat membantu mengurangi nyeri dan demam akut.[6]

Pada wilayah endemis demam berdarah atau bagi pelancong yang baru datang dari daerah tersebut, parasetamol (asetaminofen) sebaiknya menjadi pilihan pertama untuk mengatasi demam dan nyeri sendi. Langkah ini dilakukan untuk mencegah risiko perdarahan yang mungkin terjadi jika ternyata pasien menderita dengue.[6]

Bagi penderita yang masih merasakan nyeri sendi berkepanjangan akibat infeksi chikungunya, terapi lanjutan seperti penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid (termasuk dalam bentuk topikal), dan fisioterapi dapat membantu mengurangi keluhan serta memperbaiki kualitas hidup pasien.[6]

 

Baca Juga:

Target Indonesia untuk Capai 0 Kasus Kematian Dengue di 2030

Zero Dengue Death by 2030: Bisakah Dicapai?

Penularan Penyakit Malaria di Ruang Lingkup Transfusi Darah: Cegah dengan Pemeriksaan Ini

 

FAQ Seputar Penyakit Chikungunya

1. Apa Penyebab Meningkatnya Kasus Chikungunya di Tahun 2025?

Peningkatan kasus chikungunya tahun 2025 disebabkan oleh populasi nyamuk Aedes yang melonjak saat musim hujan, ditambah kondisi lingkungan yang banyak genangan air dan minim pengendalian vektor.

2. Apa itu Penyakit Chikungunya?

Chikungunya adalah infeksi virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit ini menimbulkan demam tinggi dan nyeri sendi berat yang dapat berlangsung lama.

3. Bagaimana Cara Penularan Virus Chikungunya?

Virus menular melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi. Nyamuk membawa virus setelah menggigit orang yang sedang sakit, lalu menularkannya ke orang lain saat menggigit berikutnya.

4. Apa Saja Gejala Utama Chikungunya?

Gejala utamanya meliputi demam tinggi, nyeri sendi, nyeri otot, ruam kulit, sakit kepala, dan kelelahan. Nyeri sendi sering kali menjadi tanda khas yang membedakannya dari penyakit lain.

5. Bagaimana Cara Membedakan Chikungunya dengan Demam Berdarah?

Chikungunya menyebabkan nyeri sendi berat tanpa penurunan trombosit signifikan, sedangkan demam berdarah sering menimbulkan perdarahan dan trombosit rendah. Pemeriksaan laboratorium membantu memastikan diagnosis.

6. Bagaimana Pemeriksaan untuk Memastikan Chikungunya?

Tes RT-PCR digunakan untuk mendeteksi virus secara langsung pada fase awal, sementara tes serologi (IgM dan IgG) atau rapid test membantu mengidentifikasi infeksi di tahap lanjut.

7. Apakah Chikungunya Bisa Sembuh Total?

Sebagian besar penderita sembuh dalam beberapa minggu. Namun, nyeri sendi dapat menetap hingga berbulan-bulan. Setelah sembuh, tubuh biasanya memiliki kekebalan terhadap virus ini.

8. Apakah Ada Obat Khusus untuk Chikungunya?

Belum ada obat antivirus khusus. Penanganan difokuskan pada istirahat, minum cukup cairan, serta pemberian parasetamol atau obat antiinflamasi untuk meredakan demam dan nyeri.

9. Bagaimana Cara Mencegah Penularan Chikungunya?

Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan, menguras tempat air secara rutin, menutup wadah air, menyingkirkan genangan, dan memakai lotion antinyamuk saat beraktivitas.

10. Apakah Ada Vaksin untuk Chikungunya?

Vaksin chikungunya masih dalam tahap penelitian dan belum tersedia untuk umum. Langkah paling efektif tetap dengan pengendalian nyamuk dan perlindungan diri dari gigitan.

 

PT Medquest Jaya Global

Sebagai bagian dari komunitas kesehatan, kami berkomitmen menyediakan alat kesehatan dan solusi inovatif guna mendukung program kesehatan nasional di Indonesia. Kunjungi halaman berikut untuk informasi lebih lanjut mengenai Alat Kesehatan inovatif dan berkualitas terbaik yang kami hadirkan:

Pelajari Selengkapnya

 

 

 

Referensi Artikel:

  1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2025). Laporan mingguan situasi penyakit infeksi emerging dan potensial KLB/wabah M42-2025. Surveilans Kemenkes. https://surveilans.kemkes.go.id/berita/laporan-mingguan-situasi-penyakit-infem-dan-potensial-klb-wabah-m42-2025
  2. Dinata, Arda. “Sejarah Chikungunya.” Inside, vol. I, 2006.
  3. World Health Organization. (2025). Chikungunya. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chikungunya
  4. Ojeda Rodriguez, J. A., Haftel, A., & Walker III, J. R. (2025). Chikungunya fever. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534224/
  5. Simo, F. B. N., Burt, F. J., & Makoah, N. A. (2023). Chikungunya virus diagnosis: A review of current antigen detection methods. Tropical Medicine and Infectious Disease, 8(7), 365. https://doi.org/10.3390/tropicalmed8070365
  6. Centers for Disease Control and Prevention. (2025). Treatment and prevention: Chikungunya virus. U.S. Department of Health and Human Services. https://www.cdc.gov/chikungunya/hcp/treatment-prevention/index.html
Share

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.