Home 9 Blog 9 Skrining Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit: Dampak Ekonomi dan Tantangan Penerapannya

Skrining Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit: Dampak Ekonomi dan Tantangan Penerapannya

Jul 3, 2024 • 6 minutes read

Resistensi antimikroba / antimicrobial resistance (AMR) merupakan ancaman serius bagi kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2019, tercatat ada 133.800 kasus kematian yang berkaitan dengan dan sekitar 34.500 kematian disebabkan langsung oleh AMR. Jumlah kematian akibat AMR di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat penyakit pencernaan, infeksi saluran pernapasan dan tuberkulosis, penyakit pernapasan kronis, infeksi enterik, serta gangguan maternal dan neonatal.[1]

Perbandingan jumlah kematian terkait dengan antibiotik dengan penyakit lainnya

Perbandingan jumlah kematian terkait dengan antibiotik dengan penyakit lainnya.[1]

Situasi ini tidak hanya meningkatkan morbiditas dan mortalitas, tetapi juga menambah beban finansial yang signifikan bagi sistem kesehatan. Artikel ini akan membahas tantangan dalam penerapan skrining resistensi antimikroba di rumah sakit, dengan fokus pada dampak keuangan, skenario saat terjadinya wabah, dan perlunya kebijakan standar dalam penanganan infeksi.[1]

Dampak Ekonomi Akibat Resistensi Antimikroba

Infeksi akibat resistensi antimikroba menyebabkan kenaikan biaya kesehatan yang besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan biaya tersebut meliputi:

1. Durasi Rawat Inap Lebih Lama

Infeksi bakteri yang resisten terhadap ensitive menyebabkan pasien membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama di rumah sakit. Hal ini tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi medis, tetapi juga membebani sumber daya rumah sakit dan sistem kesehatan secara keseluruhan.[2]

Berdasarkan data yang ada, ensiti rawat inap untuk kasus resisten adalah 15 hari, sedangkan kasus yang ensitive memiliki ensiti rawat inap selama 10 hari. Peningkatan durasi perawatan ini juga berarti penggunaan tenaga medis, peralatan medis, dan fasilitas rumah sakit yang lebih lama, yang semuanya berkontribusi pada peningkatan biaya operasional rumah sakit secara keseluruhan.[2]

Infeksi bakteri yang resisten terhadap karbapenem memiliki biaya yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kasus yang ensitive terhadap karbapenem, dengan biaya total sebesar $1536.4 untuk kasus resisten dan $1150.0 untuk kasus ensitive selama perawatan di rumah sakit.[2]

2. Kenaikan Biaya Pengobatan Antibiotik

Pengobatan infeksi serius akibat bakteri yang resisten terhadap antibiotik memerlukan penggunaan antibiotik yang lebih mahal dan sering kali lebih kompleks. Sebagai contoh, pengobatan untuk infeksi yang disebabkan oleh Acinetobacter baumannii yang resisten terhadap karbapenem membutuhkan biaya sekitar $77,2 per hari. Sebaliknya, jika bakteri tersebut peka terhadap karbapenem, biaya pengobatan hanya sekitar $19,7 per hari.[3]

Perbedaan biaya tersebut mencerminkan beban tambahan yang signifikan pada anggaran kesehatan, terutama ketika infeksi resisten memerlukan penggunaan antibiotik yang lebih mahal dan berkepanjangan. Dengan meningkatnya prevalensi bakteri resisten, biaya yang terkait dengan pengobatan antibiotik juga diproyeksikan akan terus meningkat, menambah tekanan finansial pada sistem perawatan kesehatan.[3]

3. Pembengkakan Biaya dan Gangguan Operasional Rumah Sakit

Wabah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan enzim karbapenemase atau Carbapenemase-Producing Enterobacteriaceae (CPE) sering menimbulkan tantangan besar bagi rumah sakit, baik dari segi pengendalian infeksi maupun biaya perawatan. Dalam skenario wabah CPE yang berlangsung selama 15 hari, berbagai komponen biaya yang terlibat meliputi:[2]

    • Biaya ranjang rumah sakit: $249,1 per hari, sehingga total biaya untuk 15 hari adalah $3.736,5.
    • Biaya antibiotik: $45,4 per hari, dengan total biaya untuk 15 hari mencapai $681.
    • Biaya apotek: Total biaya sebesar $601,5.
    • Biaya diagnostik: Total biaya sebesar $597,4.
    • Biaya lainnya (administratif, tiket, dan ambulans): Total biaya sebesar $2,4.

Dengan demikian, total biaya yang diperlukan untuk menangani satu wabah CPE selama 15 hari adalah $5.618,8.[2]

Selain biaya langsung yang terkait dengan perawatan dan pengobatan, wabah ini juga dapat menyebabkan gangguan operasional di rumah sakit, termasuk penutupan unit tertentu, peningkatan kebutuhan untuk sterilisasi, serta penurunan kapasitas rumah sakit untuk menerima pasien baru. Semua faktor ini menggarisbawahi pentingnya pencegahan dan pengendalian infeksi AMR serta investasi dalam pengembangan antibiotik baru dan strategi pengobatan yang efektif.[2, 3]

Ilustrasi peningkatan biaya pengobatan akibat dampak resistensi antimikroba

Ilustrasi peningkatan biaya pengobatan akibat dampak resistensi antimikroba.

Penelitian di rumah sakit Australia juga menunjukkan bahwa pasien dengan kolonisasi bakteri resisten karbapenem memerlukan biaya pengobatan enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien biasa. Selain itu, pasien ini memiliki LOS 12 hari lebih lama. Unit yang paling berisiko adalah unit cedera tulang belakang, bedah saraf, dan onkologi.[4]

 

Tantangan Penerapan Skrining Resistensi Antimikroba

Meskipun kasus AMR berpotensi menimbulkan beban keuangan yang cukup berat, penerapan skrining dalam upaya mencegah kolonisasi dan wabah seringkali menghadapi berbagai tantangan, antara lain:[5]

1. Konsistensi Penerapan Skrining Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit

Pada salah satu riset di Kanada, terdapat variasi yang signifikan dalam penerapan skrining resistensi antimikroba di rumah sakit. Dari 105 rumah sakit, hanya 65% yang melakukan skrining pada saat penerimaan pasien. Lebih lanjut dari data riset tersebut, dari 101 rumah sakit yang memiliki program pencegahan kolonisasi, hanya 53% yang melakukan skrining rutin, dan jika terjadi wabah, hanya 51,49% dari rumah sakit yang melakukan skrining.[5]

Variasi dalam kebijakan ini mencerminkan kurangnya standar yang konsisten dalam penanganan infeksi resistensi antimikroba. Kebijakan yang beragam ini dapat menyebabkan ketidakefektifan dalam mendeteksi dan mengelola infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten.[5]

2. Riset dan Pedoman Baku Nasional

Kurangnya riset yang mendalam mengenai penanganan wabah bakteri resisten menyebabkan kebijakan penanganan di rumah sakit menjadi beragam. Selain itu, panduan standar yang diterima secara luas sering kali tidak tersedia, menghambat efektivitas skrining dan penanganan infeksi AMR. Hal ini menunjukkan perlunya upaya dalam skala nasional untuk menghasilkan standar baku atau panduan penanganan yang lebih efektif.[5]

Hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Meskipun sudah banyak peraturan yang diterbitkan yang mengatur tentang pengendalian resistensi dan penatagunaan antibiotik, belum ada peraturan baku yang mengatur secara langsung mengenai keperluan skrining pada saat penerimaan pasien, pedoman penanganan wabah, dan program pencegahan kolonisasi secara terperinci.[5]

 

Rekomendasi Dalam Mengatasi Tantangan Penerapan Skrining Resistensi Antimikroba

Berikut adalah beberapa rekomendasi untuk meningkatkan skrining AMR:[6]

1. Pengembangan Pedoman Baku Nasional

Pengembangan pedoman baku nasional untuk skrining dan penanganan infeksi resistensi antimikroba sangat penting, dan harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaru. Pedoman ini harus diimplementasikan secara konsisten di semua rumah sakit, dengan penyesuaian sesuai kebutuhan lokal.[6]

2. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan

Pedoman saja tidak akan membantu jika tenaga kesehatan tidak memiliki kesadaran dan keterampilan mengenai penanganan resistensi antimikroba. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kesadaran mengenai cara mengelola resistensi antimikroba, termasuk pentingnya skrining melalui edukasi dan komunikasi yang efektif. Selain itu, tenaga kesehatan harus dilatih dengan baik untuk memahami prosedur pemeriksaan dan pentingnya deteksi dini. Pelatihan ini mencakup teknik pengambilan sampel, penggunaan alat diagnostik, dan interpretasi hasil skrining.[6]

3. Investasi Teknologi Diagnostik

Investasi dalam teknologi diagnostik yang lebih canggih dan cepat, seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Next Generation Sequencing (NGS) diperlukan untuk deteksi resistensi antimikroba. Teknologi ini membantu dalam identifikasi cepat patogen resisten, sehingga memungkinkan penanganan yang lebih efektif dan cepat.[6]

Penggunaan teknologi PCR dan NGS untuk deteksi resistensi

Penggunaan teknologi PCR dan NGS untuk deteksi resistensi. Sumber: MDPI.

4. Kolaborasi dan Penelitian

Peningkatan kolaborasi antara rumah sakit, lembaga penelitian, dan pemerintah sangat penting untuk memperluas riset mengenai AMR. Penelitian yang lebih komprehensif diperlukan untuk memberikan wawasan mendalam tentang dinamika resistensi antimikroba dan mendukung pengembangan strategi penanganan yang lebih efektif. Selain itu, membentuk jaringan berbagi data di antara rumah sakit dan institusi penelitian dapat membantu memantau tren AMR dan respons terhadap intervensi.[6]

Dengan mempertimbangkan rekomendasi tersebut, rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penatagunaan antibiotik, mengurangi prevalensi infeksi AMR, dan meningkatkan hasil kesehatan pasien. Upaya terpadu ini juga akan membantu mengurangi beban finansial pada sistem kesehatan akibat infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten.

Nilai lebih yang didapatkan dari penatagunaan antibiotik atau antibiotic stewardship program (ASP)

Nilai lebih yang didapatkan dari penatagunaan antibiotik atau antibiotic stewardship program (ASP)

Skrining resistensi antimikroba di rumah sakit merupakan langkah penting dalam mengendalikan penyebaran AMR. Namun, tantangan dalam penerapannya mencakup kebijakan yang beragam dan terbatasnya riset yang tersedia. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya nasional untuk menyusun pedoman baku nasional yang dapat diimplementasikan di seluruh rumah sakit, peningkatan kesadaran dan keterampilan tenaga kesehatan serta riset AMR berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan beban finansial dan meningkatkan efektivitas pengendalian infeksi AMR.

 

Ketahui informasi selengkapnya mengenai alat pemeriksaan penunjang deteksi resistensi antimikroba, yang dikenal di Indonesia dengan nama Tes Cepat Molekuler, yaitu GeneXpert System beserta Cartridge-nya khusus deteksi AMR dari Cepheid, dengan mengunjungi halaman berikut ini:

Pelajari Selengkapnya

 

 

Referensi Artikel:

  1. Institute for Health Metrics and Evaluation. Global Burden of Disease (GBD) 2019 Study: Indonesia. pdf (healthdata.org) (Diakses pada 25 juni 2024).
  2. Lashari Y, Rochmanti M, Purba AKR, Notobroto HB, Sarassari R, Kuntaman K. The Economic Impact of Carbapenem Resistant-Non Lactose Fermenter and Enterobacteriaceae Infections on Hospital Costs in Dr. Soetomo General Academic Hospital Surabaya, Indonesia. Antibiotics (Basel). 2022 May 20;11(5):694. doi: 10.3390/antibiotics11050694. PMID: 35625338; PMCID: PMC9137956.
  3. Lashari, Y., Rochmanti, M., Purba, A. K. R., Notobroto, H. B., Sarassari, R., & Kuntaman, K. (2022). Costs for carbapenem-resistant versus carbapenem-sensitive acinetobacter baumannii infections. International Journal of Health Sciences, 6(S5), 2657–2665. https://doi.org/10.53730/ijhs.v6nS5.9213
  4. Rodriguez-Acevedo AJ, Lee XJ, Elliott TM, Gordon LG. Hospitalization costs for patients colonized with carbapenemase-producing Enterobacterales during an Australian outbreak. J Hosp Infect. 2020 Jun;105(2):146-153. doi: 10.1016/j.jhin.2020.03.009. Epub 2020 Mar 13. PMID: 32179134.
  5. Jamal AJ, Garcia-Jeldes F, Baqi M, Borgia S, Johnstone J, Katz K, Kohler P, Muller MP, McGeer AJ; CPE Investigators of the Toronto Invasive Bacterial Diseases Network. Infection prevention and control practices related to carbapenemase-producing Enterobacteriaceae (CPE) in acute-care hospitals in Ontario, Canada. Infect Control Hosp Epidemiol. 2019 Sep;40(9):1006-1012. doi: 10.1017/ice.2019.173. Epub 2019 Jun 27. PMID: 31244458.
  6. World Health Organization. (2023). People-centred approach to addressing antimicrobial resistance in human health: WHO core package of interventions to support national action plans. World Health Organization. Available at: https://www.who.int/publications/i/item/9789240082496​ (World Health Organization (WHO))​.
  7. Nathwani, D., Varghese, D., Stephens, J. et al. Value of hospital antimicrobial stewardship programs [ASPs]: a systematic review. Antimicrob Resist Infect Control 8, 35 (2019). https://doi.org/10.1186/s13756-019-0471-0.

 

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.