Home 9 Blog 9 Hepatitis B: Kenali Penyakitnya & Cegah Penularannya

Hepatitis B: Kenali Penyakitnya & Cegah Penularannya

Mar 22, 2024 • 6 minutes read

Apa itu Hepatitis B

Penyakit yang yang familiar dengan sebutan Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). Virus Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi akut atau infeksi kronis. Ketika seseorang pertama kali terinfeksi virus hepatitis B maka disebut dengan infeksi akut (infeksi baru)[1]. Virus ini memiliki masa inkubasi 1-4 bulan sebelum gejala muncul. Pada pasien dengan infeksi hepatitis B akut, sebanyak 70% dapat menunjukkan gejala subklinis atau hepatitis non-kuning.[2]

Umumnya, gejala klinis hepatitis B akut hilang setelah 1-3 bulan. Hepatitis akut dapat sembuh dengan sendirinya dengan tingkat kematian 0,5-1% dan juga dapat menyebabkan terbentuknya kekebalan. Hepatitis B kronis ditandai dengan adanya HBsAg selama lebih dari enam bulan.[2, 3]

Fase-Fase Hepatitis B dan Gambaran Hasil Laboratorium

Pasien yang terinfeksi hepatitis B kronis dapat mengalami empat fase diantaranya: fase immune tolerant, immune active atau pembersihan imun, fase inactive, dan fase reactivation. Selama fase immune tolerant, kadar DNA HBV tinggi dan kadarAlanine aminotransferase normal (ALT).[4]

Di sisi lain, fase pembersihan terjadi ketika sistem kekebalan mencoba melawan virus. Fase ini ditandai dengan fluktuasi kadar ALT serta DNA HBV. Pasien kemudian dapat berkembang ke fase tidak aktif, yang ditandai dengan tingkat DNA HBV yang rendah (<2.000 IU/mL), ALT normal, dan kerusakan hati minimal. Dalam beberapa kasus, pasien dalam fase tidak aktif mungkin mengalami fase reaktivasi di mana kadar DNA HBV meningkat menjadi >2.000 IU/mL dan peradangan hati terjadi sekali lagi.[4]

Empat fase infeksi virus Hepatitis B

Empat fase infeksi virus Hepatitis B.[4]

Tingkat Keparahan Infeksi Hepatitis B

Tingkat keparahan infeksi hepatitis B dapat bervariasi tergantung pada usia pada saat infeksi. Jika seseorang terinfeksi hepatitis B sebelum usia 5 tahun, mereka cenderung tidak mengalami gejala (kurang dari 10%). Namun, jika seseorang terinfeksi pada usia dewasa, sebanyak 30-50% pasien akan memunculkan gejala. Dalam hal kronisitas, sekitar 80-90% individu yang terinfeksi hepatitis B akan mengalami infeksi kronis.[5, 6]

Pasien dengan hepatitis B kronis berisiko mengembangkan sirosis (20%) dan bahkan dapat berkembang langsung ke karsinoma sel hati (5%) tanpa melalui tahap sirosis.[7]

Individu dengan sirosis hati memiliki peluang 10-15% untuk berkembang menjadi karsinoma/kanker hati dalam waktu sekitar lima tahun. Mereka mungkin juga mengalami kegagalan fungsi hati (23%). Dalam kasus kanker hati dan kegagalan fungsi hati, transplantasi hati diperlukan atau jika tidak dilakukan maka kematian pada pasien dapat terjadi.[7]

Cara Penularan Hepatitis B

Hepatitis B dapat ditularkan secara vertikal (dari ibu ke anak) atau horizontal (dari satu individu ke orang lain). Di daerah di mana hepatitis B endemik, seperti Indonesia, penularan sebagian besar bersifat vertikal. Diperkirakan sekitar 95% penularan terjadi selama periode perinatal, dan 5% terjadi melalui transmisi intrauterine.[2]

Program pencegahan penularan vertical Hepatitis

Program pencegahan penularan vertikal hepatitis. Sumber: Kemenkes RI (diolah Litbang Kompas).

Karena penularan terjadi di awal kehidupan, risiko terkena hepatitis B kronis tinggi (95%). Penularan hepatitis B secara horizontal terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan peritoneal, cairan pleura, cairan ketuban, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh lainnya.[2]

Baca Juga: IMLTD: Tak Kasat Mata Namun Mematikan

Hepatitis B: Dampaknya di Asia Tenggara & Indonesia

Hepatitis merupakan kondisi peradangan hati yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah infeksi virus. Hepatitis B virus (HBV) dan hepatitis C virus (HCV) merupakan penyebab utama di balik krisis kesehatan global ini. Prevalensi infeksi hepatitis B dan C kronis menghadirkan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan karena infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi parah seperti sirosis/kegagalan fungsi hati, kanker hati, dan bahkan kematian.[8]

Di Asia Tenggara, infeksi hepatitis B dan C menyebabkan 81% dari total kematian akibat hepatitis, dengan kanker hati menjadi penyebab utama. Diperkirakan ada sekitar 39 juta orang yang hidup dengan hepatitis B kronis dan 10 juta orang dengan hepatitis C kronis di Asia Tenggara. Setiap tahun, hepatitis virus menyebabkan sekitar 410.000 kematian di wilayah ini, dengan 78% terkait dengan kanker hati dan sirosis akibat hepatitis B dan C.[4, 8]

Di Indonesia, virus hepatitis B menjadi salah satu penyebab utama hepatitis kronik, sirosis/kegagalan fungsi hati, kanker hati, dan kematian. Kematian karena sirosis/kegagalan fungsi hati menjadi salah satu penyebab utama kematian di Indonesia, dengan perkiraan 51.100 kematian akibat hepatitis B setiap tahun.[9] Menurut IHME (2019), kematian terkait sirosis/kegagalan fungsi hati berada di antara empat penyebab kematian teratas di Indonesia.[10]

Perkembangan penyakit hepatitis menjadi sirosis dan kanker hati. Sumber: MDPI.

Perkembangan penyakit hepatitis menjadi sirosis dan kanker hati. Sumber: MDPI.

Penderita hepatitis dapat mengidap virus hepatitis B selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala apapun. Proses ini seringkali disebut sebagai infeksi kronis, di mana virus dapat terus merusak organ hati secara perlahan tanpa memberikan tanda-tanda yang jelas. Seseorang mungkin hanya akan menyadari bahwa mereka terinfeksi virus hepatitis B ketika mereka secara aktif memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.[4]

Apabila hasil pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HbsAg) positif atau reaktif, ini dapat menjadi indikasi kuat bahwa seseorang terinfeksi virus hepatitis B. Untuk memastikan diagnosis dan menilai tingkat infeksi, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan seperti HBV-DNA.[4]

Data Seputar Hepatitis B & Langkah-Langkah yang Dilakukan

Studi epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg telah menurun dari 9,4% pada tahun 2007 menjadi 7,1% pada tahun 2013. Namun, perlu dicatat bahwa prevalensi ini masih tinggi, sehingga Indonesia masih dikategorikan sebagai wilayah endemis HBV sedang.[11]

Indonesia telah membuat komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030. Secara khusus, SDG 3.3 bertujuan untuk memberantas hepatitis dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030.[3]

Manajemen hepatitis berfokus pada penghapusan hepatitis serta mencegah penularan hepatitis B dari ibu ke anak. Untuk mencapai target penghapusan hepatitis B, upaya pencegahan dan pengendalian sedang dipercepat. Ini termasuk memperluas cakupan imunisasi hepatitis B dan mencegah penularan hepatitis B dari ibu ke anak.[3]

Upaya pengumpulan data tingkat nasional melalui proyek surveilans nasional (Riskesdas) telah dilakukan untuk memahami lebih baik prevalensi HBV dan HCV di berbagai provinsi. Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat endemisitas HBV telah menurun, memasuki kategori wilayah endemis menengah menurut WHO.[3]

Pendeteksian hepatitis B, terutama pada ibu hamil, yang dimulai di Indonesia pada tahun 2015, telah diperluas dari 30 kabupaten/kota awal (5,84%) menjadi 489 kabupaten/kota (95,1%) pada tahun 2022. Jumlah ibu hamil yang menjalani pemeriksaan hepatitis B sejak tahun 2015 hingga 2022 terus mengalami peningkatan setiap tahun.[3]

Pada tahun 2015, sebanyak 32.974 ibu hamil menjalani tes HBsAg, dengan 725 di antaranya (2,20%) menunjukkan hasil reaktif terhadap HBsAg. Jumlah pemeriksaan pada ibu hamil mencapai puncaknya pada tahun 2022, dengan total 3.254.139 ibu hamil diperiksa, dan sebanyak 50.744 di antaranya (1,56%) menunjukkan hasil reaktif terhadap HBsAg.[3]

Pengobatan untuk infeksi virus hepatitis B melibatkan penggunaan dua jenis obat. Salah satunya adalah obat suntik bernama pegylated interferon, yang diberikan secara mingguan selama periode tertentu. Alternatif lainnya adalah penggunaan obat yang diminum setiap hari dalam jangka panjang untuk menekan virus hepatitis B hingga tidak terdeteksi. Beberapa obat yang digunakan termasuk lamivudine, telbivudine, adefovir, tenofovir, dan entecavir.[2]

Pemantauan pengobatan HBV DNA membantu dokter mengevaluasi efektivitas terapi yang diberikan. Melalui pemeriksaan rutin, dapat diketahui apakah jumlah virus atau viral load telah menurun atau bahkan tidak terdeteksi sama sekali. Hal ini membantu dalam menilai apakah pengobatan yang diberikan berhasil mengendalikan perkembangan virus.[2]

Pemantauan yang baik memungkinkan identifikasi dini potensi perkembangan komplikasi ini sehingga tindakan pencegahan atau pengobatan lanjutan dapat dilakukan dengan cepat. Pasien yang mendapat pengobatan yang efektif memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dalam menekan penyebaran virus kepada orang lain. Dengan memantau dan mengelola infeksi secara efektif, risiko penularan kepada orang lain dapat diminimalkan.[2]

Baca Juga: Hepatitis B: Pentingnya Pemantauan DNA HBV & Studi Kasusnya

Bagi Anda yang sedang membutuhkan alat pemeriksaan Hepatitis B yang kualitasnya terpercaya dan dapat diandalkan, silakan kunjungi halaman berikut untuk informasi lebih lanjut :

Pelajari Selengkapnya

 

Referensi Artikel:

  1. Hepatitis B Foundation. (2024). What Is Hepatitis B?. Hepatitis B Foundation. https://www.hepb.org/what-is-hepatitis-b/what-is-hepb/acute-vs-chronic/ (diakses pada 14 Maret 2024).
  2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/322/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B.
  3. Kemenkes RI. (2023). Petunjuk Teknis Manajemen Program Hepatitis B dan C. World Health Organization. https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/indonesia/non-who-publications/2023-guideline-for-program-management-of-hepatitis-b-and-c.pdf?sfvrsn=f7373309_1&download=true (diakses pada 14 Maret 2024).
  4. World Health Organization. 2020. Training Modules on Hepatitis B and C Screening, Diagnosis, and Treatment. Retrieved from https://www.who.int/publications/i/item/9789290227472
  5. World Health Organization. (‎2015)‎. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons with chronic hepatitis B infection. World Health Organization. https://iris.who.int/handle/10665/154590
  6. Centers for Disease Control and Prevention. 2021. Hepatitis B. Retrieved from https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/hepb.html#:~:text=Chronic%20HBV%20Infection,-The%20proportion%20of&text=As%20many%20as%2090%25%20of%20infants%20who%20acquire%20HBV%20infection,to%2050%25%20become%20chronically%20infected.
  7. Mehta P, Reddivari AKR. Hepatitis. [Updated 2022 Oct 24]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554549/
  8. World Health Organization (WHO). 2023. Hepatitis in the South-East Asia Region. Retrieved from https://www.who.int/southeastasia/health-topics/hepatitis
  9. CDA Foundation. (2024). Polaris Observatory. CDA Foundation. https://cdafound.org/polaris-countries-dashboard/ (diakses pada 14 Maret 2024)
  10. Institute for Health Metrics and Evaluation. 2019. Indonesia. Seattle, WA: IHME, University of Washington. Retrieved from https://www.healthdata.org/indonesia
  11. Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan. 2014. Laporan Uji Serologis Penyakit yang dapat Dicegah dengan Imunisasi dan Penyakit Infeksi pada Spesimen Biomedis Riskesdas 2013.

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.