Home 9 Blog 9 Alzheimer: Penyakit Tua & Tak Dapat Dicegah, Benarkah?

Alzheimer: Penyakit Tua & Tak Dapat Dicegah, Benarkah?

Aug 14, 2023 • 6 minutes read

Waktu berlalu tanpa henti, membawa setiap individu ke dalam proses penuaan yang tak terhindarkan. Setiap detik yang berlalu menambah usia, dan seiring waktu berjalan, kita mulai melihat dan merasakan perubahannya.

Perubahan fisik seperti uban dan keriput mulai tampak, memberi tanda pada wajah dan tubuh kita. Namun, ada juga perubahan yang tak bisa kita lihat – seperti sistem kekebalan tubuh perlahan menurun, membuat kita lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit.

Penyakit Alzheimer adalah satu kondisi yang sering dihubungkan dengan proses penuaan. Namun, pertanyaan yang muncul, apakah setiap orang tua pasti akan terkena kondisi ini? Mari kita cermati fakta dan data yang ada bersama-sama.

Pengertian Alzheimer

Alzheimer merupakan suatu kondisi neurodegeneratif yang menyebabkan adanya gangguan pada berbagai aspek fungsi perilaku dan fungsi kognitif, meliputi memori, pemahaman, bahasa, fokus, penalaran, dan juga penilaian. Hal ini disebabkan adanya kematian sel-sel saraf yang umumnya dimulai dari bagian korteks di Hippocampus, akibat penumpukan beta amiloid dan Neurofibrilarry tangle.[1]

Gambar Morfologi Otak Manusia

Gambar Morfologi Otak Manusia.[2]

Faktor genetik memainkan peran penting dalam munculnya kondisi ini. Ini berarti bahwa jika seseorang yang telah menua menderita kondisi ini, risiko terkena kondisi yang sama pada keturunannya menjadi lebih tinggi. Namun, Alzheimer bukanlah takdir yang ditentukan secara mutlak oleh gen. Berbagai faktor lain seperti trauma kepala, depresi, penyakit jantung dan pembuluh darah, kebiasaan merokok, usia lanjut, kadar homosistein yang tinggi, dan keberadaan alel e4 APOE juga memberikan kontribusi dalam meningkatkan risiko seseorang untuk mengidap kondisi ini.[1]

Faktor genetik memainkan peran penting dalam munculnya kondisi ini. Ini berarti bahwa jika seseorang yang telah menua menderita kondisi ini, risiko terkena kondisi yang sama pada keturunannya menjadi lebih tinggi. Namun, kondisi ini bukanlah takdir yang ditentukan secara mutlak oleh gen. Berbagai faktor lain seperti trauma kepala, depresi, penyakit jantung dan pembuluh darah, kebiasaan merokok, usia lanjut, kadar homosistein yang tinggi, dan keberadaan alel e4 APOE juga memberikan kontribusi dalam meningkatkan risiko seseorang untuk mengidap kondisi ini.[1]

Baca juga: Ciri dan Gejala Alzheimer

Prevalensi Penyakit Alzheimer di Indonesia

BPJS temukan kenaikan kasus demensia dan alzheimer hingga 87 persen

BPJS temukan kenaikan kasus demensia dan alzheimer hingga 87 persen. Sumber: Antaranews.com

Pada publikasi terbitan 2021, ada sekitar 6,2 juta orang Amerika yang berumur 65 tahun atau lebih menderita kondisi ini, dengan 121.499 di antaranya telah menghembuskan napas terakhir mereka. Proyeksi ke depan menunjukkan gambaran yang lebih gelap, dengan angka tersebut diperkirakan naik drastis hingga 13,8 juta pada tahun 2060.[3]

Di negeri kita sendiri, Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda. Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa sekitar 1 juta orang Indonesia hidup dengan kondisi ini, dengan perkiraan lonjakan hingga dua kali lipat pada tahun 2030. Sayangnya, angka ini mungkin hanya puncak gunung es. Persepsi masyarakat terhadap kondisi ini masih rendah, sehingga kemungkinan ada banyak kasus yang tidak terdeteksi atau tidak tercatat.[4]

Hal ini menggarisbawahi pentingnya upaya edukasi tentang kondisi ini dan peningkatan akses ke layanan kesehatan yang bertujuan mencegah dan menangani kondisi ini. kondisi ini bukan hanya merugikan individu yang menderita, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup keluarga dan mereka yang merawat penderita, membutuhkan investasi waktu dan tenaga yang besar. Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama melawan kondisi ini, mulai dari pengetahuan, pencegahan, hingga perawatan.

Diagnosis Penyakit Alzheimer

Hingga detik ini, “Gold Standard” untuk diagnosis kondisi ini adalah melalui otopsi, yang berarti prosedurnya baru dapat dilakukan “post-mortem” atau setelah pasien telah meninggal dunia.[5]

Lalu bagaimana dengan mereka yang masih berada dalam pelukan kehidupan? Apakah upaya mendiagnosis kondisi ini di kalangan pasien yang masih hidup menjadi sia-sia karena tidak bisa memberikan kepastian tentang kondisi medis mereka? Tentu saja tidak.

Meskipun belum mencapai status “Gold Standard“, pemeriksaan pada individu berisiko tinggi atau mereka yang menunjukkan gejala kondisi ini dapat memberikan petunjuk berharga kepada para klinisi, apakah mereka berada dalam kategori “probable Alzheimer“, “possible Alzheimer” atau “not Alzheimer“.[5]

Dalam upaya untuk memahami dan mendiagnosis kondisi ini, para ahli telah menggali dan mengembangkan berbagai metode diagnostik selama beberapa dekade terakhir. Beberapa di antaranya meliputi CT Scan, EEG, serta teknik-teknik canggih pencitraan otak seperti PET, fMRI, dan SPECT. Setiap metode memberikan sumbangan nilai dalam evaluasi kondisi medis pasien, namun belum ada satu pun yang bisa dengan yakin memberikan diagnosis pasti apakah seorang pasien menderita kondisi ini atau tidak.[1]

Baca juga: Penegakan Diagnosis Alzheimer

CT Scan pada otak, contohnya, ditujukan untuk mendeteksi adanya atrofi serebral (penyusutan massa otak). Walaupun metode ini memberikan indikasi, namun tidak spesifik sebab atrofi serebral juga dapat terjadi pada berbagai penyakit lain dan bahkan secara alami terjadi pada orang-orang yang tengah mengalami penuaan. EEG, di sisi lain, membantu dalam proses diagnostik, meskipun kembali lagi, tidak spesifik – teknik ini hanya mampu mendeteksi perlambatan aktivitas otak secara umum dan tidak secara khusus mengarah pada kondisi ini.[2]

Lain lagi dengan MRI volumetric, yang merupakan teknik yang lebih baru dan digunakan untuk mengukur dengan akurasi perubahan volume di otak. Dalam kasus kondisi ini, MRI volumetrik menunjukkan adanya penyusutan di lobus temporal medial. Namun, atrofi hippocampal juga bisa dikaitkan dengan penurunan memori yang normal seiring bertambahnya usia, sehingga kegunaan MRI volumetrik untuk deteksi dini kondisi ini masih menjadi subjek perdebatan. Dengan kata lain, peran pasti MRI volumetrik dalam membantu diagnosis kondisi ini masih belum sepenuhnya ditentukan.[1]

1. Pemeriksaan Biomarker Cairan Serebrospinal

Di luar metode yang telah dibahas sebelumnya, terdapat teknik diagnostik lain yang terus menerus diteliti dan ditingkatkan, yakni pengujian biomarker dalam cairan otak manusia, atau yang lebih akrab dikenal sebagai cairan CSF (Cerebrospinal Fluid). Evaluasi CSF dinilai berperan penting, khususnya pada tahap “preclinical stage” penyakit Alzheimer.

Tiga jenis protein yang biasanya diteliti dalam CSF mencakup (AB1-40), (AB1-42), dan protein tau hiperfosforilasi (pTau). Pada individu yang terkena kondisi ini, seringkali ditemukan penumpukan “neurofibrillary tangles” (NFT) dalam sel-sel saraf pada korteks dan area limbik otak, yang sebagian besar terdiri dari protein tau (pTau) & hiperfosforilasi tau (hTau) yang abnormal.[2]

Di luar sel saraf, ditemukan deposit amiloid beta yang disebut plak neuritik, dengan komponen utama adalah peptida amiloid beta dengan panjang 40 asam amino (AB1-40) dan 42 (AB1-42) asam amino, berasal dari protein prekursor amiloid yang terikat pada membran integral.[2]

Adanya plak dan tangle ini menyebabkan kerusakan interkoneksi antar neuron, menghasilkan gangguan kompleks dalam sirkuit jaringan otak. Mempertahankan dan memperbaiki fungsi yang masih aktif, serta mencegah kematian sel, merupakan langkah penting untuk memperlambat kerusakan jaringan otak.[2]

Pasien yang tidak menunjukkan gejala namun memiliki biomarker positif telah mengidentifikasi patologi kondisi ini, yaitu situasi berisiko mengidap penyakit Alzheimer. Sebuah publikasi pada tahun 2021 menyatakan bahwa kondisi ini dapat terdeteksi 20 tahun sebelum gejalanya muncul dan berkembang secara progresif.[3]

Oleh karena itu, pemeriksaan biomarker dapat memberikan petunjuk tentang risiko seseorang apakah akan berpotensi menderita penyakit kondisi ini di masa mendatang. Selain itu, pada pedoman tertentu, seperti yang diterbitkan pada tahun 2014, dalam menegakkan diagnostik kondisi ini, setidaknya 3 dari 4 biomarker harus positif.[6]

Memandang pentingnya pengecekan biomarker dalam mendiagnosis kondisi ini, layanan ini sejatinya perlu tersedia secara luas di Indonesia. Saat ini, produk yang sudah teregistrasi dan tersedia di Indonesia adalah Innotest yang dikembangkan oleh Fujirebio. Innotest telah diteliti dan dikembangkan selama lebih dari seperempat abad dan sudah mendapatkan persetujuan dari CE marked Europe.

Dalam melakukan diagnosis kondisi ini, Innotest menggunakan sampel CSF untuk mendeteksi empat protein penting: dua varian protein amiloid (Aβ1-42 dan Aβ1-40) dan dua jenis protein Tau (Total Tau dan fosfo-Tau). Pada pasien kondisi ini, protein-protein ini akan terdeteksi dalam tingkatan yang abnormal—tingkatan Aβ1-42 dan rasio Aβ1-42/Aβ1-40 akan menurun secara drastis, sementara Total Tau dan fosfo-Tau akan meningkat. Bahkan, penurunan tingkat Aβ1-42 dan rasio Aβ1-42/Aβ1-40 bisa terlihat jauh sebelum gejala kondisi ini mulai muncul.

Dengan adanya pemeriksaan biomarker ini, memungkinkan deteksi dini sehingga dokter dan klinisi dapat memberikan penanganan yang tepat untuk memperlambat, atau bahkan mencegah, perkembangan kondisi ini pada individu yang berisiko.

Untuk informasi selengkapnya mengenai Innotest dan bagaimana cara kerjanya, silakan hubungi kami sekarang juga melalui berikut ini:

Pelajari Selengkapnya

Kami berkomitmen untuk membantu Anda menghadirkan pelayanan yang lebih baik dalam mendeteksi dan merawat pasien dengan risiko kondisi ini. Lebih awal mendeteksi, lebih besar peluang untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.

Referensi Artikel:

  1. Kumar, A., et al. (2023). Alzheimer Disease. [Updated 2022 Jun 5]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499922/
  2. NIH National Institute on Aging. (2021). What Is Alzheimer’s Disease?. NIH National Institute on Aging. https://www.nia.nih.gov/health/what-alzheimers-disease.
  3. Alzheimer Association. (2021). 2021 Alzheimer’s disease facts and figures. Alzheimer Association. Alzheimer’s & Dementia. 17(3), 327-406. https://doi.org/10.1002/alz.12328
  4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). MENKES: LANSIA YANG SEHAT, LANSIA YANG JAUH DARI DEMENSIA. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. https://www.kemkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html#:~:text=Estimasi%20jumlah%20penderita%20Penyakit%20Alzhemeir%20di%20Indonesia%20pada,penderita%20Alzheimer%20di%20Indonesia%20semakin%20meningkat%20setiap%20tahunnya (diakses pada 14 AUG 2023).
  5. Beach, T. G., et al. (2012). Accuracy of the clinical diagnosis of Alzheimer disease at National Institute on Aging Alzheimer Disease Centers, 2005-2010. Journal of neuropathology and experimental neurology, 71(4), 266–273. https://doi.org/10.1097/NEN.0b013e31824b211b
  6. Molinuevo, J. L., et al. (2014). The clinical use of cerebrospinal fluid biomarker testing for Alzheimer’s disease diagnosis: a consensus paper from the Alzheimer’s Biomarkers Standardization Initiative. Alzheimer’s & dementia : the journal of the Alzheimer’s Association, 10(6), 808–817. https://doi.org/10.1016/j.jalz.2014.03.003

Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!

Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.