Di segenap penjuru dunia, termasuk Indonesia, bermacam-macam rumah sakit harus berhadapan dengan tantangan besar, fenomena yang tidak diinginkan tapi sering muncul, yakni infeksi terkait pelayanan kesehatan atau dikenal juga sebagai HAI’s (Healthcare Associated Infections).[1]
Penyebab utama dari masalah adalah makhluk mikroskopis tangguh yang telah membangun pertahanan terhadap berbagai antibiotika, yang paling sering kita temui adalah MRSA atau Methicillin-resistant S.aureus.[1]
Di banyak pusat perawatan khusus trauma, pihak medis rumah sakit telah menanggulangi masalah ini dengan pengecekan skrining MRSA pada setiap pasien yang akan menerima perawatan. Metode ini tradisionalnya dilakukan di laboratorium dengan prosedur berbasis kultur yang membutuhkan waktu hingga 48 jam.[2]
Namun, perkembangan terkini telah membawa kita pada era baru dalam deteksi MRSA, menggunakan teknologi molekuler canggih yang tidak hanya cepat, namun juga akurat, yang dikenal di Indonesia sebagai Tes Cepat Molekuler (TCM). Sangat ideal untuk pasien yang masuk melalui pintu gerbang darurat atau bangsal trauma.
Berikut adalah beberapa alasan kuat kenapa metode deteksi MRSA berbasis TCM ini menjadi pilihan unggul dalam strategi manajemen kontrol infeksi di rumah sakit.
Definisi MRSA
Staphylococcus aureus (SA) merupakan flora normal yang umum ditemukan pada permukaan kulit manusia. SA dapat menjadi patogen apabila ada kesempatan (bakteri komensal), seperti penurunan daya tahan tubuh yang biasanya terjadi pada pasien yang di rawat di RS.
SA yang tahan terhadap methicillin, atau yang lebih dikenal dengan sebutan MRSA (Strain Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) adalah bakteri S. aureus yang telah membangun perisai kuat melawan berbagai antibiotik, terutama dari golongan methicillin. MRSA bermula pada sekitar tahun 1960, saat MRSA pertama kali ditemukan.[4]
Sejak saat itu, ia merajalela dan perlahan merusak stabilitas kesehatan global. Dalam beberapa dekade terakhir, MRSA telah menjadi penyebab meningkatnya jumlah kasus infeksi nosocomial. Namun, itu bukanlah hal terburuk yang bisa dilakukannya. Bakteri ini bahkan dapat menggerogoti kesehatan manusia hingga ke titik paling kritis, bertanggung jawab atas penyakit berbahaya yang bisa merenggut nyawa seperti pneumonia, fascitis necrotizing, endokarditis, osteomielitis, sepsis yang sangat serius, dan sindrom syok toksik yang diperburuk oleh MRSA.[4]
Faktor Risiko Infeksi MRSA
Tak bisa dipungkiri, MRSA menjadi ancaman serius dalam dunia medis. Lantas, apa saja faktor-faktor yang bisa menempatkan seseorang dalam zona risiko tinggi terinfeksi oleh bakteri ini? Penelitian terkini telah mengidentifikasi beberapa variabel yang mempengaruhi kerentanan terhadap MRSA.[5]
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, kondisi yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, seperti imunosupresi, dapat membuka pintu bagi MRSA. Begitu juga dengan prosedur hemodialisis,[6] yang sering kali menjadi perantara bagi bakteri ini.[5]
Namun, MRSA tidak hanya mengincar mereka yang lemah. Faktor-faktor lain seperti usia lanjut, durasi perawatan di rumah sakit, serta kegagalan dalam penggunaan terapi antimikroba juga berpotensi mengundang MRSA. Bahkan, penggunaan perangkat medis jangka panjang seperti kateter bisa menjadi tiket masuk untuk MRSA.[5]
Sementara itu, diabetes juga menjadi pemicu bagi MRSA, terutama bagi mereka yang membutuhkan terapi insulin dan yang memiliki luka dekubitus. Jadi, setiap individu harus waspada dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk meminimalkan risiko terinfeksi oleh MRSA.[5]
Pedoman Pemeriksaan MRSA di Indonesia
Sebuah aturan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah membuka jalan bagi pendekatan baru dalam pengendalian MRSA. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2021, yang membahas pedoman penggunaan antibiotik, skrining MRSA dianjurkan untuk operasi besar dan berisiko, dengan eradikasi yang akan dilakukan jika hasil skrining positif.[7]
Contoh Studi Kasus Pemeriksaan MRSA Non-Molekuler di Rumah Sakit
Pada studi kasus di Rumah Sakit Torbay, sebelum penggunaan teknik pemeriksaan MRSA berbasis molekuler, kerap kali terjebak dalam dilema. Misalkan, bangsal trauma ortopedi, bagian yang rutin menerima pasien dari Unit Gawat Darurat, sering kali berjibaku dengan kapasitas maksimum. Ditambah lagi, sasaran penyelesaian dalam 4 jam menjadi sulit terpenuhi akibat kekurangan tempat tidur.[2]
Permasalahan ini menjadi lebih kompleks selama musim flu saat musim dingin tiba. Bangsal elektif, dengan efisiensi 70%, hanya dibuka untuk pasien dengan hasil negatif MRSA. Tetapi tes MRSA sendiri? Waktu tunggunya bisa mencapai 48 jam jika menggunakan metode berbasis kultur, dan bahkan terkadang baru diproses hari berikutnya jika pasien datang di luar jam kerja laboratorium.[2]
Pilihan sulit muncul. Pasien harus berlama-lama di unit Gawat Darurat, atau malah harus dipindahkan ke bangsal bedah. Kedua opsi ini menimbulkan tekanan pada target waktu penanganan 4 jam dan layanan terhadap pasien. Alternatif lain, memasukkan pasien ke bangsal elektif, namun bisa memicu risiko dan melanggar prosedur skrining MRSA, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pembatalan operasi yang sudah dijadwalkan.[2]
Jadi, bisa Anda bayangkan betapa rumitnya situasi ini bagi tenaga medis dan pasien? Bukankah ini tantangan yang cukup memusingkan?
Pemeriksaan MRSA dengan Tes Cepat Molekuler (TCM)
Menengok contoh studi kasus sebelumnya, rasanya tepat bila dikatakan deteksi MRSA berbasis molekuler, yaitu TCM, menjadi salah satu prioritas utama di rumah sakit karena memang teknik ini menjanjikan keuntungan yang signifikan. Satu di antaranya adalah peningkatan efisiensi waktu. Prosedur ini dapat menghasilkan hasil dalam waktu singkat, hanya satu jam saja,[2] dapat membantu menentukan penggunaan tempat tidur di unit perawatan elektif yang aman dan tepat bagi pasien trauma.
Dengan metode molekuler, pasien yang telah melalui skrining dapat dengan cepat ditempatkan di bangsal yang sesuai, menghilangkan penundaan yang tidak perlu dan memberikan kepercayaan diri pada pasien karena merasa mendapatkan perawatan yang tepat. Selain itu, aliran pasien dalam rumah sakit menjadi lebih lancar, dan waktu skrining yang singkat ini mendorong efisiensi dalam tata kelola infeksi di rumah sakit. Karena itu, manfaat ini tidak hanya untuk pasien, tetapi juga untuk operasional rumah sakit.
Bagi klinisi, deteksi dini adalah landasan pengobatan yang efektif. Tanpa manajemen medis atau bedah yang cepat dan tepat, perdarahan katastropik atau sepsis yang tidak terkontrol dapat terjadi.
Baca juga : Tes Cepat Molekuler (TCM)
Kebutuhan pemeriksaan MRSA yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis agar dokter dapat memberikan tindakan cepat dan tepat. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Tes Cepat Molekuler sebagai alat pemeriksaan MRSA dengan metode molekuler adalah solusi atas kebutuhan tersebut.
Dengan melihat kebutuhan krusial dunia medis tersebut, hadirlah solusi revolusioner dari Cepheid, yaitu GeneXpert System, sebuah alat yang dikenal di Indonesia sebagai Tes Cepat Molekuler, dengan beragam fungsi penggunaan, salah satunya adalah deteksi dini dan cepat MRSA.
GeneXpert System, dengan dua varian uji MRSA—Xpert MRSA NxG dan Xpert MRSA/SA SSTI—sudah siap membantu Indonesia dalam mengatasi resiko infeksi MRSA.
1. GeneXpert System – Xpert MRSA NxG
Pemeriksaan GeneXpert System menggunakan katrid Xpert MRSA NxG merupakan salah satu pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi MRSA dari swab nasal yang sudah tersedia secara komersial dan telah mendapatkan sertifikat FDA. Sampel diambil dari swab nasal baik menggunakan rayon nasal swab dan ESwab. Xpert MRSA NxG mengandung primer dan probe untuk mendeteksi staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec) dan gen mecA dan gen mecC, yang mana mengkode resistensi terhadap methicillin-oxacillin resistance.
Dalam sebuah penelitian tahun 2017, menunjukan hasil secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas Xpert MRSA NxG adalah 91.8% dan 97.2%. Sensitivitas dan spesifisitas Xpert MRSA NxG pada sampel swab rayon adalah 91% dan 96.9%. Pada sampel Eswab, sensitivitas dan spesifisitas Xpert MRSA NxG adalah 92.9% dan 97.6%. Tingkat positif pada populasi sampel swab rayon adalah 11.1%, sedangkan Eswab adalah 11.6%. Hasil tersebut membuktikan bahwa Xpert MRSA NxG memiliki performa yang baik pada sampel swab nasal.[8]
2. GeneXpert System – Xpert MRSA/SA SSTI
Pemeriksaan GeneXpert System menggunakan katrid Xpert MRSA/SA SSTI adalah metode berbasis PCR real-time yang mengandalkan deteksi MRSA simultan dari tiga target: gen protein A (spa) Staphilococcis aureus (SA), gen yang mendukung MR (mecA), dan kromosom SA SCCmec.
Semua langkah PCR (yaitu, ekstraksi, amplifikasi, dan deteksi) berlangsung dalam kartrid sekali pakai yang berisi semua reagen yang diperlukan untuk mendeteksi tiga target bakteri yang disebutkan di atas bersama dengan kontrol pemrosesan sampel internal (SPC) (spora Bacillus globigii).
Menurut rekomendasi penggunakaan dari pabrikan, sampel klinis dapat dikumpulkan dengan swab Copan, dimasukkan kedalam buffer elusi, divorteks selama 10 detik, dan kemudian dipindahkan ke kartrid Xpert MRSA/SA SSTI. Analisis keseluruhan selesai dalam waktu <1 jam, dan kurva amplifikasi secara otomatis dibaca oleh alat MRSA dan SA positif atau negatif.
Pada sebuah studi tahun 2021, terkait dengan Xpert MRSA/SA SSTI, dijelaskan proses Methisilin Resisten (MR) diperoleh, dengan transfer horizontal dan integrasi kromosom dari elemen genetik seluler pada staphylococcal cassete chromomec mec (SCCmec). Gen mecA mengkode protein pengikat penisilin alternatif (PBP2a), enzim yang bertanggung jawab untuk ikatan silang peptidoglikan di dinding sel bakteri, menghasilkan afinitas yang buruk untuk β-laktam dan resistensi global terhadap kelas antibiotik ini.[9]
Xpert MRSA/SA SSTI juga telah mendapat persetujuan dari FDA untuk identifikasi cepat Staphylococcus aureus dan mendeteksi genotipik resistensi methicillin dari swab kulit dan subkutan, swab luka dan telah dievaluasi di Eropa untuk digunakan dengan sampel tulang dan sendi dari pasien dewasa dengan infeksi Acute and chronic musculoskeletal (MSK).
Dalam penelitian tahun 2019 menunjukan hasil sebanyak 184 spesimen sumber dari 125 pasien diuji. Xpert MRSA/SA SSTI dibandingkan dengan kultur dan hasil AST, memiliki sensitivitas 85% untuk MSSA dan 82% untuk MRSA. Dengan spesifisitas 98% untuk MSSA dan 100% untuk MRSA.[10]
GeneXpert System, dengan Xpert MRSA NxG dan Xpert MRSA/SA SSTI, membawa solusi efektif untuk rumah sakit dalam meningkatkan efisiensi penggunaan fasilitas dan penentuan tindakan yang cepat dan akurat.
Sebagai pelaku di bidang kesehatan, Anda memiliki peran penting dalam memutus siklus penyebaran MRSA dan membawa perubahan nyata di lapangan. Dengan GeneXpert System, kita bisa bersama-sama memutus penyebaran MRSA dan memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik bagi semua orang. Bersama, jadilah bagian dari perubahan ini!
Untuk informasi selengkapnya mengenai bagaimana GeneXpert System dapat membantu Anda, silakan hubungi kami melalui berikut ini:
Referensi Artikel :
- Rahmawati, S. A. & Dhamanti, I. (2021). Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit. UNAIR NEWS. https://news.unair.ac.id/2021/05/01/program-pencegahan-dan-pengendalian-infeksi-di-rumah-sakit/?lang=id.
- Cepheid. 2019. Case Study: Point-of-Care MRSA Testing. https://mjg2004.synology.me:2004/sharing/uyCmlY3yM.
- Enany, M. E., Algammal, A. M., Shagar, G. I., Hanora, A. M., Elfeil, W. K., & Elshaffy, N. M. (2018). Molecular typing and evaluation of Sidr honey inhibitory effect on virulence genes of MRSA strains isolated from catfish in Egypt. Pakistan journal of pharmaceutical sciences, 31(5), 1865–1870. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30150182/
- Garoy, E. Y., et al. (2019). Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA): Prevalence and Antimicrobial Sensitivity Pattern among Patients-A Multicenter Study in Asmara, Eritrea. The Canadian journal of infectious diseases & medical microbiology = Journal canadien des maladies infectieuses et de la microbiologie medicale, 2019, 8321834. https://doi.org/10.1155/2019/8321834.
- Siddiqui, A.H. & Koirala, J. (2023). Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482221.
- Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2007). Invasive methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections among dialysis patients–United States, 2005. MMWR. Morbidity and mortality weekly report, 56(9), 197–199. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17347644/.
- Kemenkes RI. (2021). PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2021 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. https://yankes.kemkes.go.id/unduhan/fileunduhan_1658480966_921055.pdf
- Yarbrough, M. L., et al. (2017). Multicenter Evaluation of the Xpert MRSA NxG Assay for Detection of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in Nasal Swabs. Journal of clinical microbiology, 56(1), e01381-17. https://doi.org/10.1128/JCM.01381-17
- Marie Titécat, M., et al. (2021). Challenging Methicillin Resistance Detection in Bone and Joint Infections: Focus on the MRSA/SA SSTI® Strategy. Frontiers in Medicine. 8. https://doi.org/10.3389/fmed.2021.553965
- Searns, J. B., et al. (2019). Validation of a novel molecular diagnostic panel for pediatric musculoskeletal infections: Integration of the Cepheid Xpert MRSA/SA SSTI and laboratory-developed real-time PCR assays for clindamycin resistance genes and Kingella kingae detection. Journal of microbiological methods, 156, 60–67. https://doi.org/10.1016/j.mimet.2018.12.004