Resistensi antimikroba (AMR) merupakan fenomena yang muncul ketika mikroorganisme, termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit, yang sebelumnya dapat diatasi dengan obat-obatan, berubah dari waktu ke waktu menjadi semakin sulit diatasi, sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit yang serius dan berpotensi mematikan. Hal tersebut diutarakan oleh Handayani, dkk (2017) pada salah satu jurnalnya yang bertajuk “Antimicrobial Resistance and Its Control Policy Implementation in Hospital in Indonesia”.
Lebih lanjut dijelaskan, hal ini terjadi karena perubahan genetik pada mikroorganisme yang membuatnya lebih mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan zat-zat antimikroba, sehingga membuat obat-obatan tersebut menjadi tidak efektif dalam mengatasi infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme tersebut.
Dalam rangka untuk mengatasi dampak negatif dari resistensi antimikroba, pada tahun 2019, World Health Organization (WHO) menempatkan fenomena tersebut sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global, yang dapat menyebabkan manusia kembali ke era di mana infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis, gonore, dan salmonellosis tidak dapat diatasi dengan mudah.
Tidak hanya itu, sebagaimana yang disampaikan O’Neill pada jurnal yang diterbitkan tahun 2016, pada tahun 2050, diperkirakan resistensi antimikroba menyebabkan kematian hingga 10 juta orang per tahun, atau setara dengan satu orang meninggal setiap 3 detiknya. Lebih lanjut O’Neill menjelaskan, estimasi untuk kasus ini saja, umat manusia akan menelan kerugian ekonomi global hingga $100 triliun pada tahun 2050, sebuah dampak yang begitu masif akan memukul peradaban manusian.
Hal tersebut juga diperkuat dari apa yang disampaikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa diperkirakan hanya dalam satu dekade, bila tidak ditangani dengan baik, penyakit AMR yang disebabkan oleh mikoorganisme yang sudah resisten ini dapat menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan, yaitu lebih dari 24 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, meningkatnya kelaparan serta tentunya kekurangan gizi yang semestinya dibutuhkan.
Melihat besarnya dampak dari resistensi antimikroba pada kesehatan manusia dan perekonomian global, maka dibutuhkan tindakan yang segera untuk mengurangi risiko resistensi antimikroba tersebut.
Pada artikel ini kita akan membahas mengenai apa itu Antimicrobial Resistance (AMR), penyebab dan penyebaran AMR, jenis-jenis serta dampaknya, mengenal lebih dalam pandangan dan aksi nyata WHO dan pemerintah Indonesia terhadap mikroorganisme ini dan tentunya kita akan membahas tindakan antisipatif seperti apa guna mencegah dan mengendalikan salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global ini.
Apa itu Antimicrobial Resistance (AMR)?
Dilansir dari artikel yang diterbitkan Centers for Disease Control and Prevention pada 2022, antimicrobial resistance (resistensi antimikroba) muncul ketika mikroorganisme seperti bakteri dan jamur memperoleh kemampuan untuk melawan obat-obatan yang telah dirancang untuk mengeliminasi mereka. Dampaknya, infeksi sulit diatasi dan pada beberapa kasus menjadi hampir tidak mungkin disembuhkan.
Lebih lanjut dijelaskan dari artikel tersebut, Resistensi antimikroba memiliki potensi untuk mempengaruhi orang pada setiap tahap kehidupan, serta industri perawatan kesehatan, peternakan, dan pertanian. Karenanya, resistensi antimikroba merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat global yang paling mendesak.
Penyebab dan Penyebaran AMR
Melansir dari 2 jurnal yang diterbitkan oleh Holmes dkk. pada tahun 2015 serta Sikora dkk. pada tahun 2023, beberapa penyebab utama resistensi antimikroba diantaranya adalah:
- Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
- Penggunaan antibiotik berlebihan
- Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri resisten antimikroba
- Terpapar saat berada di fasilitas pelayanan kesehatan (Nosocomial infection)
Pada fase penyebarannya, mikoorganisme yang telah menjadi resisten terhadap obat-obatan yang telah diperuntukkannya membagikan mekanisme resistensinya ke mikoorganisme lain disekitarnya sehingga menyebabkan mikoorganisme yang sebelumnya tidak resisten menjadi resisten. Berikut contoh ilustrasinya:
Jenis-Jenis Resistensi Antimikroba
Resistensi antimikroba merupakan masalah serius yang perlu diberikan perhatian khusus karena mikoorganisme tersebut dapat resisten terhadap beberapa jenis antibiotik umum (antibiotik spektrum sempit) yang biasanya mudah ditemukan, sehingga menyebabkan beberapa diantaranya menjadi sulit untuk dapat diobati (Reygaert, 2018).
Lebih lanjut disebutkan oleh Reygaert pada jurnalnya, berikut beberapa contoh dari mikoorganisme yang sudah tergolong resistensi antimikroba (AMR):
- Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vancomycin-resistant Enterococcus (VRE)
- Multi-drug-resistant Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB)
- Carbapenem-resistant Enterobacteriaceae (CRE) gut bacteria
Dampak Resistensi Antimikroba
Bila pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa salah satu dampak dampak terjadinya AMR adalah semakin sulit untuk diobati, berikut ini beberapa dampak lainnya menurut beberapa studi yang sudah dilakukan:
1. Biaya Perawatan Meningkat
Menurut studi yang dilakukan CDC pada 2013, hanya untuk di Amerika Serikat saja, resistensi antimikroba dapat menambah biaya perawatan pasien yang terkena infeksi bakteri di rumah sakit hingga sekitar $1.400. Hal tersebut didukung juga oleh Thorpe dkk. pada jurnal terbitan 2018 yang menyatakan bahwa biaya tambahan ini dapat meningkat secara signifikan hingga lebih dari $2 miliar setiap tahunnya.
Selain itu menurut laporan yang dipublikasikan oleh Jonas pada 2017, diperkirakan secara global Resistensi Antimikroba dapat menghabiskan biaya lebih dari $1 triliun per tahun pada tahun 2050. Lebih lanjut dalam laporan tersebut menyatakan bahwa resistensi antimikroba akan meningkatkan tingkat kemiskinan dan memberikan dampak pada negara-negara berpenghasilan rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil studi menunjukan bahwa PDB global tahunan dapat menurunkan sekitar 1% dan pada negara berkembang akan ada penurunan hingga 5– 7% pada tahun 2050 (Dadgostar, 2019).
2. Masa Rawat Inap Menjadi Lebih Lama
Sehubungan dengan penjelasan poin 1, meningkatnya biaya perawatan dapat disebabkan salah satunya adalah karena durasi rawat inap meningkat hingga 8 hari pada pasien yang terinfeksi Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), menurut studi yang dilakukan Anderson dkk. pada tahun 2017.
Pada pasien yang terkena jenis AMR lainnya, yaitu Carbapenemase-producing Enterobacterales, durasi rawat inapnya bahkan meningkat menjadi 12 hari lebih lama dibanding dengan pasien pada umumnya, hal ini disampaikan Rodriguez-Acevedo dkk. pada jurnal yang diterbitkan tahun 2020.
3. Kasus Infeksi Umum Semakin Sulit Ditangani
Resistensi antimikroba memiliki dampak kritis pada tingkat morbiditas dan mortalitas pasien, di mana pasien yang terkena resistensi antimikroba memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan yang serius dan tiga kali lipat risiko kematian.
Bahkan yang lebih mengerikannya lagi, diperkirakan bahwa secara global terdapat sekitar 700.000 kematian setiap tahunnya yang disebabkan oleh resistensi antimikroba. Tidak hanya itu, pada tahun 2050, diprediksi bahwa resistensi antimikroba akan menewaskan hingga 10 juta orang jika tidak ada upaya yang efektif dalam menangani dan mencegah penyebarannya (Dadgostar, 2019).
Pandangan WHO Terhadap AMR
Pada tahun 2019, WHO menetapkan Antimicrobial Resistance sebagai salah satu dari “Ten Threats to Global Health in 2019”. Menurut WHO, resistensi antimikroba mengancam kita kembali pada masa dimana kita tidak dapat dengan mudah menangani infeksi umum seperti tuberculosis, gonorrhea, pneumonia dan salmonellosis.
Sebagai salah satu upaya WHO untuk mengatasi krisis resistensi antimikroba, pada tahun 2016 WHO menyusun Global Action Plan on Antimicrobial Resistance (GAP-AMR), yang memiliki lima tujuan:
- Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antimikroba melalui komunikasi, pendidikan dan pelatihan yang efektif.
- Memperkuat basis pengetahuan dan bukti melalui pengawasan dan penelitian.
- Mengurangi kejadian infeksi melalui langkah-langkah sanitasi, kebersihan dan pencegahan infeksi yang efektif.
- Mengoptimalkan penggunaan obat antimikroba bagi kesehatan manusia dan hewan.
- Mengembangkan ekonomi untuk investasi berkelanjutan yang memperhitungkan kebutuhan semua negara dan meningkatkan investasi dalam obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya.
Selang beberapa tahun, guna mendorong dan mempromosikan penelitan dan pengembangan antibiotik baru, WHO pada 2017 juga menerbitkan daftar patogen prioritas yang resisten terhadap antimikroba. Diantaranya adalah:
Resistensi Antimikroba di Indonesia
Di Indonesia sendiri, Kementrian Kesehatan RI telah menerbitkan Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikorba di Rumah Sakit. Pada Pasal 5 Permenkes Nomor 8 Tahun 2015, dipaparkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah penyebaran mikroba resisten adalah meningkatkan kewaspadaan standar, hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dari GAP-AMR, yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi mikroba melalui komunikasi yang efektif, pendidikan dan pelatihan.
Melansir dari berita yang diterbitkan di halaman website UPK Kemenkes (2022), saat penutupan pertemuan Side Event AMR dalam rangkaian G20, dr. Dante Saksono Harbuwono, selaku Wakil Menteri Kesehatan RI, memaparkan bahwa resistensi antimikroba merupakan silent pandemic dengan menyebabkan sejumlah 1,2 juta jiwa angka kematian. Oleh karena itu, dr. Dante Saksono Harbuwono berharap agar pemerintah dapat mempercepat upaya penanggulangan AMR di Indonesia.
Mengutip dari jurnal yang ditulis oleh Parathon dkk. pada tahun 2017, berikut data statistik resistensi antimikroba di Indonesia:
- Pada pertengahan tahun 1990, dilaporkan oleh beberapa studi bahwa terdapat 21% dan 36% pasien yang terinfeksi penicillin non-resistant dan erythromycin resistant S. pneumoniae di Jakarta.
- Di tahun 2000-2001 prevalensi tetracyline resistant S. pneumoniae pada laboratorium mikrobiologi University of Jakarta adalah 46%
- Di tahun 2005, sebuah survei yang dilaksanakan oleh salah satu universitas di Surabaya menemukan prevalensi extended spectrum beta lactamases pada coli dan Klebsiella pneumoniae adalah 20% dan 28%.
- Dari tahun 2001 sampai 2012, resistensi terhadap imipenem (golongan Carbapenem) mencapai 30% di beberapa negara, dimana dua negara di Asia dengan resistensi tertinggi adalah Indonesia (6%) dan Filipina (4%).
Pengendalian dan Pencegahan Resistensi Antimikroba
Berdasarkan Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 “Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit” Pasal 3 bahwa strategi pengendalian AMR dipaparkan menjadi dua klausa yaitu:
Dimana untuk poin b diatas dapat dilaksanakan dengan upaya yang tercantum dalam pasal 5 pada Permenkes nomor 8 tahun 2015.
Salah satu bentuk upaya pencegahan penyebaran AMR, dapat dilakukan dengan menegakan diagnosis infeksi resistensi antimikroba. Hal ini dilakukan sebagai preventive measure pada pasien maupun calon pasien yang dirawat di fasilitas kesehatan, sehingga menempatkan pasien berdasarkan hasil diagnosis tersebut.
Berikut ini beberapa prosedur diagnosis resistensi antimikroba:
1. Antibiotic Susceptibility Testing
Antibiotic Susceptibility Test (AST) merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengetahui regimen antimikroba atau antibiotik yang tepat untuk pasien (Bayot & Bragg, 2022). Pada uji AST, hasil diagnosis dapat didapatkan dalam kurun waktu 24 – 72 jam, yang terlama dibanding dengan metode lainnya.
Beberapa material dibutuhkan untuk melaksanakan prosedur ini, diantaranya, broth, agar sebagai medium, paper antibiotic disk dan antibiotic. Peralatan yang dibutuhkan diantaranya: reagent wells, disposable tray inoculator, micropipette, disk / agar plate dan lainnya (Reller dkk., 2009; Tankeshwar, 2022).
2. Pulse-field Gel Electrophoresis
Pulse-field Gel Electrophoresis (PFGE) merupakan teknik yang digunakan oleh ilmuwan untuk menghasilkan DNA fingerprint dari bakteri yang terisolasi. Hasil PFGE didapatkan dalam kurun waktu 24-48 jam.
Material yang dibutuhkan diantaranya adalah: agar sebagai medium, ethidium bromide solution, gel, broth, buffer dan lainnya. Beberapa peralatan yang dibutuhkan adalah water bath, vortex, flask, microwave, microcentrifuge tubes, glass capillary pipettes dan lainnya (Centers for Disease Control and Prevention, n.d.).
3. Test Cepat Molekuler (TCM) menggunakan Cepheid GeneXpert System
Sebagaimana di awal telah dijelaskan sebelumnya, pendeteksian resistensi antimikroba sangatlah penting guna mencegah, mengendalikan bahkan mengakhiri silent pandemic ini, seperti yang dikatakan sebelumnya oleh Wakil Menteri Kesehatan RI, dr. Dante Saksono Harbuwono. Maka guna mencapai tujuan itu, hadir lah terobosan terkini dari perusahaan terkemuka Amerika, Cepheid, yang produknya sudah teruji diakui oleh World Health Organization (WHO), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai Tes Cepat Molekuler, yaitu Cepheid GeneXpert System.
Baca juga: Tes Cepat Molekuler (TCM) Deteksi Antimicrobial Resistance (AMR)
Cepheid GeneXpert System merupakan solusi inovatif yang ditawarkan oleh Cepheid yang memungkinkan tenaga kesehatan untuk melakukan deteksi atau pemeriksaan cepat dan akurat. Hanya membutuhkan 4 buah material dan peralatan guna menjalankan tes ini, yaitu Cepheid GeneXpert System, Catridge GeneXpert Carba-R atau MRSA (tergantung kebutuhan), swab, dan vial reagen.
Catridge GeneXpert Carba-R dan MRSA NxG membantu klinisi untuk mendeteksi resistensi antimikroba terhadap antibiotik secara otomatis dan tanpa intervensi manusia untuk golongan Carbapenem (Xpert Carba-R) dalam kurun waktu 48 menit dan Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dalam kurun waktu kurang dari 60 menit.
Baca juga: Tes Cepat Molekuler (TCM) Deteksi MRSA
Dengan hasil cepat dan akurat, GeneXpert memfasilitasi tenaga kesehatan dalam menentukan keputusan klinis untuk tindakan lanjutan yang efektif dan efisien terhadap pasien. Hasil cepat dari GeneXpert juga memberikan kenyamanan dan kepuasan terhadap pasien. Oleh karena itu, selain memberikan solusi deteksi cepat untuk resistensi antimikroba, GeneXpert juga mengakomodasi peningkatan kualitas pelayanan pada fasilitas kesehatan.
Untuk mengetahui informasi selengkapnya mengenai Cepheid GeneXpert System, Catridge GeneXpert Carba-R dan Catridge GeneXpert MRSA NxG, silakan kunjungi halaman berikut ini:
Referensi Artikel:
Anderson M, Clift C, Schulze K, dkk. (2019). Averting the AMR crisis: What are the avenues for policy action for countries in Europe?. National Library of Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK543406/ [diakses pada 31 Maret 2023].
Bayot, M. L., & Bragg, B. N. (2022). Antimicrobial Susceptibility Testing. Statpearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539714/ [diakses pada 31 Maret 2023].
Centers for Disease Control and Prevention. (n.d.). Oxacillin-resistant Staphylococcus aureus on PulseNet (OPN): Laboratory Protocol for Molecular Typing of S. aureus by Pulsedfield Gel Electrophoresis (PFGE). https://www.cdc.gov/mrsa/pdf/ar_mras_pfge_s_aureus.pdf [diakses pada 31 Maret 2023].
Centers for Disease Control and Prevention. (2013). ANTIBIOTIC RESISTANCE THREATS. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/drugresistance/pdf/ar-threats-2013-508.pdf [diakses pada 31 Maret 2023].
Centers for Disease Control and Prevention. (2022). About Antimicrobial Resistance. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/drugresistance/about.html [diakses pada 31 Maret 2023].
Dadgostar, P. (2019). Antimicrobial Resistance: Implications and Costs. Infection and Drug Resistance. 12, hal. 3903–3910. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6929930/ [diakses pada 31 Maret 2023].
Handayani, R., Siahaan, S., & Herman, M. (2018). Antimicrobial Resistance and Its Control Policy Implementation in Hospital in Indonesia. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 1(2), 131-140. https://doi.org/10.22435/jpppk.v1i2.537 [diakses pada 31 Maret 2023].
Holmes, A. H., et al. (2015). Understanding the mechanisms and drivers of antimicrobial resistance. ANTIMICROBIALS: ACCESS AND SUSTAINABLE EFFECTIVENESS. 387(10014), hal. 176-187. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00473-0 [diakses pada 31 Maret 2023].
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/114886/permenkes-no-8-tahun-2015 [diakses pada 31 Maret 2023].
O’neill, J. (2016). Tackling Drug-Resistant Infections Globally. THE REVIEW ON ANTIMICROBIAL RESISTANCE. https://amr-review.org/sites/default/files/160518_Final%20paper_with%20cover.pdf [diakses pada 31 Maret 2023].